Friday 27 October 2017

Makalah Tentang Periwayatan Hadis Pada Zaman Nabi, Sahabat dan Generasi Sesudah Sahabat

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sudah di maklumi umum bahwa hadis nabi Saw pada pereiode awal islam merupakan sumber ajaran islam yang di sepakati setelah Al Qur’an. Sahabat, sebagai umat yang hidup di awal-awal islam, selain mengalami langsung penereimaan Al Qur’an juga mengalami langsung penerimaan hadits Nabi Saw.
Ada larangan langsung menulis Hadist di hadapan Nabi Saw, mereka tidak menyianyakan kesempatan. Momentum pertemuan dengan nabi, oleh yang ahli tulis arab, dimanfaatkan untuk menulis Hadist nabi Saw sabda Nabi Saw yang di tuturkan mereka tulis, apa yang di ketahuinya di laksanakan nabi juga di tulis, begitu pula yang di tetapkanya, hingga persifatan yang penting di amati dari pribadi Nabi Saw, menjadi sasaran penulisan para sahabat. Di kemudian hari, aktifitas sejumlah sahabat yang biasa menulis itu menjadi naskah laporan (shahifah) yang berisi apa sajah yang terkait atau di sandarkan (ma udhifa) kepada nabi Saw, yang tidak lain dari hadist nabawi atau yang lazim di sebut hadist nabi atau biasa disebut hadis.[1]

B.       Rumusan Masalah
1.      Apakah hadis itu?
2.      Cara Nabi menyampaikan periwayatan hadis?
3.      Bagaimanah proses periwayatan hadis pada zaman Nabi?
4.      Bagaimanah proses periwayatan hadis pada zaman sahabat Nabi?
5.      Bagaimana periwayatan hadis sesudah generasi sahabat?

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Hadis
Dari sudut etimologi, hadis secara umum berarty: sesuatu yang baru (al-jadid) lawan dari sesuatu yang lama (al-qadim). Ia juga berarty kabar atau berita (al-khabar).
Dari sudut terminologi, hadis memiliki beberapa pengertian tergantung dari sudut tinjauan masing-masing disiplin ilmu. Para ahli hadis mengartikan hadis yaitu: Segala sesuatu yang dihubungkan dengan nabi saw berupa pernyataan, perbuatan, penetapan atau sifat perangai atau perilaku atau perjalanan hidup, baik sebelum masa kenabian seperti bersemedinya di Gua Hira atau sesudahnya. Menurut mayoritas ahli hadis, istilah sunnah dianggap sinonim dengan istilah hadis.[2]
B.     Cara Pentahapan Periwayatan Hadis
 Secara etimologis, proses al-riwayat atau riwayat al-hadis ini dapat diaertikan dengan periwayatan atau periwayatan hadis.
         Secara terminologis, al-riwayat berarti kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian periwayatannya dengan bentuk-bentuk tertentu. Dari arti ini, maka orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain, ia tidak dapat di sebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Dan sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyapaikan hadi itu dia tidak menyampaikan rangkaian para periwayatnya maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis.
Dari pengertian diatas, setidaknya ada tiga unsure penting yang mesti dipenuhi bagi terjaadinya suatu aktivitas yang disebut dengan periwayatan hadis, yaitu:
a.       Kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis.
b.      Kegiatan menyampaikan hadis itu kepada orang lain.
c.       Ketika hadis itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya itu disebutkan.
          Ada beberapa peristilahan yang lazim dikenal disekitar periwayatan hadis, yaitu al-rawi, al-marwi, sanad dan matn. Masing-masing diatas dijelaskan sebagai berikut:
a.       Al-Rawi (periwayat), yaitu orang yang melakukan periwayatan hadis.
b.      Al-Marwi, yaitu apa yang diriwayatkan.
c.       Sanad, atau apa yang biasa disebut isnad, ialah susunan rangkaian para periwayat hadis.
d.      Matan, adalah kalimat (materi) yang disebut sesudah sanad.[3]

C.    Cara Nabi Menyampaikan Periwayatan Hadis
Cara-cara yang telah digunakan Nabi SAW dalam menyampaikan hadis kepada umatnya dapat diringkaskan sebagai berikut:
1.      Hadis berupa sabda
ada kalanya Nabi menyatakan perintah kepada sahabat tertentu untuk menulisnya. Pada umumnya Nabi tidak menyertakan perintah tersebut. Juga, ada kalanya hadis dalam bentuk sabda itu dikemukakan Nabi karena sebab tertentu dan pada umumnya dikemukakan tidak karena sebab tertentu. Sabda Nabi ada kalanya dikemukakan di hadapan orang banyak dan ada pula yang dikemukakan dihadapan beberapa orang atau seorang saja.
2.      Hadis berupa perbuatan
 ada yang disampaikan oleh Nabi karena sebab tertentu, ada yang tanpa didahului oleh sebab tertentu, ada yang disampaikan di depan orang banyak dan ada pula yang disampaikan di hadapan orang-orang tertentu saja.
3.      Hadis dalam bentuk taqrir
terbatas penyampaiannya. Sebab “kelahiran” taqrir Nabi berkaitan erat dengan peristiwa tertentu yang dilakukan oleh sahabat Nabi.
4.      Hadis dalam bentuk hal-ihwal Nabi
sesungguhnya ia bukanlah merupakan aktivitas Nabi. Karenanya, Nabi dalam “menyampaikannya” bersifat pasif saja, pihak yang aktif adalah para sahabat Nabi, dalam arti sebagai “perekam” terhadap hal-ihwal Nabi tersebut.[4]
5.      Pentahapan Periwayatan Hadis
Dari pengamatan dari sejumlah literatur, setidaknya ada tiga pentahapan yang telah dilalui, yang dapat member gambaran yang jelas bagaimana cara periwayatan memperoleh (menerima) dan menyampaikan hadis Nabi SAW, yaitu:
1)      Periwayatan Hadis pada Zaman Nabi Saw.
2)      Periwayatan Hadis pada Zaman Sahabat.
3)      Periwayatan Hadis pada Zaman Sesudah Sahabat.

D.  Periwayatan Hadis pada Zaman Nabi
Hadis yang diterima oleh sahabat cepat tersebar dimasyarakat. Hal itu karena para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis Nabi SAW dan kemudian berminat menyampaikannya kepada orang lain. Hal demikian terbukti dari pengakuan sahabat sendiri, seperti dari Umar bin al-khaththab yang telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari nabi. Kata Umar, bila tetangganya hari ini menemui Nabi, Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi SAW dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi SAW, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas.
Jelas bahwa periwayatan hadis pada zaman Nabi berjalan lancer. Kelancaran periwayatan hadis demikian, terjadi karena dua hal. Pertama, karena cara yang ditempuh oleh Nabi SAW dalam menyampaikan hadis sebagaimana dikemukakan diatas dan kedua, karena minat yang begitu besar dari para sahabat.
E.     Periwayatan Hadis pada Zaman Sahabat Nabi

1.       Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Abu Bakar merupakan Sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis.
Bukti dari sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadis terlihat pada tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadis miliknya, puteri Abu Bakar, Aisyah, menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar 500 hadis. Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia membakar catatannya itu karena dia kawatir berbuat salah dalam periwayatan hadis. Hal ini membuktikan sikap sangat hati-hati Abu Bakar dalam periwayatan.
2.       Umar bin al-Khaththab         
Periwayatan hadis pada zaman Umar bin al-Khaththab lebih banyak dilakukan oleh umat islam bila dibandingkan dengan zaman Abu Bakar. Hal itu karena umat islam telah lebih banyak memerlukan periwayatan hadis, juga karena khalifah Umar pernah memberikan dorongan kepada umat islam untuk membelajari hadis Nabi. Para periwayat-periwayat hadis masih agak “terkekang” dalam melakukan kegiatan periwayatan hadis, karena Umar telah melakukan pemeriksaan yang cukup ketat pada periwayat hadis. Umar berlaku demikian bertujuan agar berkonsentrasi umat islam tidak berpaling dari Al-Qur’an, dan juga agar tidak melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadis. Kebijaksanaan yang demikian telah menghalangi orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan hadis.
3.      Utsman bin Affan
Pada zaman Utsman bin Affan, kegiatan umat islam dalam periwayatan hadis lebih banyak dibandingkan dengan periwayatan pada zaman Umar bin al-Khaththab. Utsman melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi, seruan itu terlihat tidak begitu besar pengaruhnya terhadap sebagian periwayat yang cenderung bersikap santai dalam periwayatan hadis. Hal tersebut terjadi, karena selain pribadi Utsman tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah islam semakin luas. Luasnya wilayah islam mengakibatkan bertambah sulitnya pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.
4.      Ali bin Abi Thalib
           Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadis dari segi kehati-hatian. Misalnya, Ali baru bersedia menerima riwayat hadis Nabi setelah periwayat hadis mengucapkan sumpah, bahwa hadis yang disampaikannya itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya terhadap periwayat yang telah dipercayainya, Ali tidak memintanya bersumpah. Misalnya ketika menerima riwayat hadis dari Abu Bakar al-Shiddiq, Ali tidak memintanya bersumpah. Dalam suatu riwayat, Ali menyatakan, “…Abu Bakar telah memberitakan hadis kepada saya, dan dia benar…”
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa fungsi sumpah dalam periwayatan hadis bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadis. Sumpah dianggap tidak perlu, bila orang yang menyampaikan riwayat hadis telah diyakini tidak mungkin keliru.

F.     Periwayatan Hadis Sesudah Generasi Sahabat

Berikut ini adalah beberapa ulama-ulama periwayatan hadis sesudah generasi sahabat:
a.       Sa’id bin al-Musayyab
b.      Muhammad bin Muslim bin syihab al-Zuhri
c.       Abu Amr Abdurrahman bin Amr al-Auza’i
d.      Ali bin al-Madini
e.       Al-Syafi’i
f.        Al-Bukhari
Periwayatan hadis pada zaman ini tidak memperoleh hadis secara langsung dari nabi, karena mereka memang tidak sezaman dengan Nabi. Mereka dapaat saja menerima riwayat hadis dari periwayat yang (a) berasal dari generasi sebelum mereka, tetapi masih sempat sezaman dengan mereka. (b) berasal dari satu generasi dengan mereka dan (c) berasal dari generasi berikutnya yang sempet sezaman dengan mereka.[5]
  
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hadis secara etimologi berarty: sesuatu yang baru (al-jadid) lawan dari sesuatu yang lama (al-qadim). Ia juga berarty kabar atau berita (al-khabar). Sedangkan secara terminologi, hadis berarty; Segala sesuatu yang dihubungkan dengan nabi saw berupa pernyataan, perbuatan, penetapan atau sifat perangai atau perilaku atau perjalanan hidup, baik sebelum masa kenabian seperti bersemedinya di Gua Hira atau sesudahnya.
Secara terminologis, al-riwayat berarti kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian periwayatannya dengan bentuk-bentuk tertentu. Hadis mesti memenuhi beberapa unsure, yaitu: Al-Rawi (periwayat), Al-Marwi (apa yang diriwayatkan), Sanad (susunan rangkaian para periwayat hadis), Matan (kalimat yang disebut sesudah sanad).
Cara nabi menyampaikan periwayatan hadis yaitu: hadis berupa sabda, hadis berupa perbuatan, hadis dalam bentuk taqrir, hadis dalam bentuk hal-ihwal nabi, pentahapan periwayatan hadis.


DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzaky, Hamdani Bakran, Konseling & Psikoterapi Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2004.
Al-Ghazali,  Mengobati Penyakit Hati (Membentuk Akhlak Mulia), Terj.. Muhammad Al-Bagir, Karisma, 1994.
Al-Kurdi, Syeikh Muhammad Amin, Menyucikan Hati Dengan Cahaya Ilahi,  Terj. Kuswidi Nur, Ypgyakarta: Mitra Pustaka, 2003.
Al-Quran dan Terjemah, Jakarta: Maghfiroh Pustaka, 2006
Az-Zahrani, Musfir bin Said, Konseling Terapi, Jakarta: GEMA INSAN, 2005.
Nawawi, Imam, Risyadhud Shalihin, Terj. Salim Bahreisj, Cet. Ke-6, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1981
Nurihsan, Achmad Juntika, Bimbingan dan Konseling,  (Bandung: PT Refika Aditama, 2007.
O’riordan, Linda, The Art of Sufu Healing, Terj. Mariana Ariesetyawati, Seni Penyembuhan Sufi, Jakarta: Serambi IlmuSemesta, 2002.
Sutoyo, Anwar, Bimbingan & Konseling Islam (Teori & Praktek), Semarang: CV Cipta Prima Nusantara, 2007.
Syukur, M. Amin, Tasawuf Bagi Orang Awam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006
­­­______________, Sufi Healing Terapi dalam Literatur Tasawuf, Semarang: 2010






[1]Erfan Soebahar. Periwayatan dan penulisan hadis nabi, semarang: fakultas tarbiyah iain walisongo semarang, 2002, hal: 1-2.
[2] Erfan Soebahar. Periwayatan dan penulisan hadis nabi, semarang: fakultas tarbiyah iain walisongo semarang, 2002, hal: 13-14.
[3] Erfan Soebahar. Periwayatan dan penulisan hadis nabi, semarang: fakultas tarbiyah iain walisongo semarang, 2002, hal: 21-22.
[4] Erfan Soebahar. Periwayatan dan penulisan hadis nabi, semarang: fakultas tarbiyah iain walisongo semarang, 2002, hal: 23-24
[5] Erfan Soebahar. Periwayatan dan penulisan hadis nabi, semarang: fakultas tarbiyah iain walisongo semarang, 2002, hal: 25-42.

0 comments:

Post a Comment

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

kumpulan makalah afif

Popular Posts

Powered by Blogger.

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Kumpulan Artikel dan Makalah Belajar Lebih Dalam Tentang Islam | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com