A.
Pendahuluan
Psikologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang tingkah laku atau karakter manusia. Tasawuf adalah
membersihkan diri dengan menjalankan konsep tahali, takhali dan tajali yaitu
dengan menghiasi diri dengan kebaikan, menjauhi larangan Allah SWT dan lebih
meningkatkan keimanan serta lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Seorang
sufi yang bersih hatinya dan menerapkan tiga konsep tersebut dalam kehidupan
maka akan secara otomatis keadaan psikologisnya baik karena hidupnya sudah
mengikuti ajaran tasawuf, yaitu ajaran yang diridhai Allah SWT.
Psikologi ada korelasi atau hubungan
dengan tasawuf yaitu psikologi dapat mempengaruhi tingkat keimanan dan
ketakwaan kita kepada Allah, seseorang yang secara psikologis baik dan tidak
pernah berbuat kejelekan, maka akan lebih mudah menjalankan konsep tasawuf
tahali, takhali dan tajali. Yaitu dengan menghiasi diri dengan kebaikan,
menjauhi larangan Allah SWT dan lebih meningkatkan keimanan serta lebih
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam makalah ini akan dijelaskan
lebih rinci tentang pengertian psikologi dan tasawuf , hubungan psikologi dan tasawuf, dimensi
psikologi dalam tasawuf.
B.
Pengertian Psikologi dan Tasawuf
a.
Pengertian
Psikologi
Kata “psikologi” berasal dari kata Yunani psyche dan logos.
Psyche berarti nafas, karena itu hidup (dikaitkan atau dicirikan dengan
nafas), asas yang menghidupkan dalam diri manusia serta makhluk hidup lainnya,
sumber segala aktifitas hidup, jiwa atau ruh atau asas yang menghidupkan dalam
keseluruhan alam semesta, ruh dunia. Sedangkan logos berarti kata atau
bentuk yang menampakkan asas itu. Dalam teologi, logos berarti firman
Tuhan. Jadi psikologi mulanya berarti kata atau bentuk yang mengungkapkan asas
kehidupan, jiwa atau ruh.
Menurut Frank J. Bruno pengertian psikologi terbagi menjadi tiga
artian, yang pertama psikologi adalah studi (penyelidikan) mengenai ruh. Yang
kedua psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental. Yang ketiga
psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mengenai tingkah laku organisme.
Menurut Chaplin
psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku manusia dan hewan,
studi mengenai organisme dalam segala variasi dan kerumitannya ketika mereaksi
arus dan perubahan alam sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan (sosial)
yang merubah lingkungan.[1]
b.
Pengertian
Tasawuf
Istilah tasawuf berasal dari bahasa Arab dari kata ”tashowwafa–
yatashowwafu-tashowwuf” mengandung makna
(menjadi) berbulu yang banyak, yakni menjadi seorang sufi atau
menyerupainya dengan ciri khas pakaiannya terbuat dari bulu domba/wol (suuf),
walaupun pada prakteknya tidak semua ahli sufi pakaiannya menggunakan wol.
Menurut sebagian pendapat menyatakan bahwa para sufi diberi nama sufi karena
kesucian (shafa) hati mereka dan kebersihan tindakan mereka. Di sisi yang lain
menyebutkan bahwa seseorang disebut sufi karena mereka berada dibaris terdepan
(shaff) di hadapan Allah, melalui pengangkatan keinginan mereka kepada-Nya.
Bahkan ada juga yang mengambil dari istilahash-hab al-Shuffah, yaitu para
shahabat Nabi SAW yang tinggal di kamar/serambi-serambi masjid (mereka
meninggalkan dunia dan rumah mereka untuk berkonsentrasi beribadah dan dekat
dengan Rasulullah SAW).
Pada intinya tasawuf merupakan suatu usaha dan upaya dalam rangka
mensucikan diri (tazkiyatunnafs) dengan cara menjauhkan dari pengaruh kehidupan
dunia yang meyebabkan lalai dari Allah SWT untuk kemudian memusatkan
perhatiannya hanya ditujukan kepada Allah SWT. Menurut Syaikh Muhammad Amin
al-Kurdi bahwa tasawuf adalah ilmu yang menerangkan tentang keadaan-keadaan
jiwa (nafs) yang dengannya diketahui hal-ihwal kebaikan dan keburukan jiwa,
cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan mengisinya dengan
sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, jalan menuju Allah, dan
meninggalkan (larangan-larangan) Allah menuju (perintahperintah) Allah SWT.[2]
C.
Hubungan Psikologi dan Tasawuf
Psikologi agama mempelajari tingkah
laku manusia dalam hubungannya dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang
dianutnya dalam penelaahan kajian empiris. Dalam hubungan ini, ternyata agama
terbukti mempunyai peranan penting dalam perawatan jiwa. Oleh karenanya metode
yang digunakan dalam penelitian Ilmu Jiwa agama tidak berbeda dengan metode
ilmiyah yang dipakai oleh cabang-cabang Ilmu Jiwa agama.
Ketika seseorang dalam prilaku
kehidupan keberagamaannya baik dan sesuai dengan ketentuan nilai-nilai
Ilahiyah, maka ada kemungkinan dalam tingkat spiritual keagamaannya tinggi.
Inilah hasil dari implementasi dan aplikasi ke-tasawufannya. Dalam hal ini
kejiwaan seseorang berpengaruh besar dalam kehidupan spiritual dan tingkah laku
dalam pergaulannya. Berarti antara kesufian dan psikologi agama sangat
berkaitan. Dan bukan hal yang tidak mungkin para sufi adalah pakar ilmu jiwa
sekaligus dokter jiwa. Hubungan ini tentunya dalam implementasi ilmu jiwa yang
dimaksud adalah sentuhan-sentuhan rohani keislaman.
Para sufi menekankan unsur kejiwaan
dalam konsepsi tentang manusia yang mengarah dalam inti kehidupan manusia pada
unsur spiritual atau kejiwaannya. Dalam pandangan sufi juga disebutkan, bahwa
akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas
dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsunafsu hewani atau
nabati, maka yang akan tampil dalam prilakunya adalah prilaku hewani atau nabati
pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, maka yang akan tampil
dalam prilakunya adalah prilaku insani.
Memang harus diakui, jiwa manusia
terkadang sakit. Dalam hal ini, seseorang tidak akan sehat jiwanya secara
sempurna kalau tidak melakukan perjalanan menuju Allah dengan benar. Jiwa
manusia juga membutuhkan prilaku (moral) yang luhur sebab kebahagiaan tidak
akan dapat diraih tanpa akhlak yang luhur, juga tidak dapat memilikinya tanpa
melakukan perjalanan menuju Allah. Dalam kaitan ini berarti sangat diperlukan
latihan-latihan kejiwaan dalam bentuk riyadhoh dan mujahadah menuju spiritual
yang maksimal.
Oleh karena itu dapat ditarik
kesimpulan, bahwa seseorang yang dekat dengan Tuhannya maka dia akan
mendapatkan ketenangan dan ketentraman. Sehingga akan berpengaruh pada sikap
dan tindaktanduknya dalam kehidupan. Prilaku kehidupan keagamaan seseorang itu
dipengaruhi dari jiwanya yang mengarah pada kebaikan atau keburukan. Dengan
demikian sangat jelaslah keterkaitan tasawuf dengan psikologi agama (Ilmu Jiwa
Agama).[3]
D.
Dimensi Psikologi Dalam Tasawuf
Dimensi psikologi dalam tasawuf
tebagi menjadi tiga dimensi, yang pertama dimensi penalaran yaitu menerangkan
berbagai gejala perilaku manusia, corak relasi, dan kehidupannya. Nalar manusia
yang paham tentang ajaran tasawuf maka secara psikologi baik karena ia akan
selalu berbuat kebaikan dan takut berbuat keburukan. Yang kedua dimensi
pengendalian yaitu dimensi yang meningkatkan kesejahteraan mental dan kehidupan
manusia, serta mencegah praktik yang tidak benar dan efek negatif dari
psikologi itu sendiri dan ilmu lainnya. Seorang sufi juga secara otomatis mampu
mengendalikan diri agar hidupnya selalu taat terhadap aturan sehingga hidupnya
akan tertata. Yang ketiga dimensi peramalan yaitu dimensi yang membuat pikiran
tentang pola perilaku manusia dalam berbagai situasi dan akibat-akibatnya pada
masa depan berdasarkan data yang akurat. Seorang sufi akan mampu meramalkan
dampak apa yang akan terjadi atas perbuatan yang telah dilakukannya tersebut,
minimal ia mampu memnimalisir dampak buruk dari suatu kejadian buruk yang
dialaminya.
Dimensi psikologi dalam tasawuf juga
berfungsi mengembangkan kesehatan mental manusia dan menata perilaku berguna
yang dikenal dengan istilah keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Kesehatan
mental dan kualitas keberagamaan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.
Mental yang sehat mempengaruhi kualitas keberagamaan, dan kualitas keberagamaan
mempengaruhi kesehatan mental.
Dapat disimpulkan bahwa dimensi
psikologi dapat mempengaruhi tingkat keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah,
seseorang yang secara psikologis baik dan tidak pernah berbuat kejelekan, maka
akan lebih mudah menjalankan konsep tasawuf tahali, takhali dan tajali. Yaitu
dengan menghiasi diri dengan kebaikan, menjauhi larangan Allah SWT dan lebih
meningkatkan keimanan serta lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Seorang
sufi yang bersih hatinya dan menerapkan tiga konsep tersebut dalam kehidupan
maka akan secara otomatis keadaan psikologisnya baik karena hidupnya sudah
mengikuti ajaran tasawuf, yaitu ajaran yang diridhai Allah SWT.[4]
E.
Kesimpulan
Psikologi adalah ilmu pengetahuan
mengenai tingkah laku manusia dan hewan, studi mengenai organisme dalam segala
variasi dan kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam sekitar dan
peristiwa-peristiwa kemasyarakatan (sosial) yang merubah lingkungan.
Tasawuf Adalah suatu usaha dan upaya
dalam rangka mensucikan diri (tazkiyatunnafs) dengan cara menjauhkan dari
pengaruh kehidupan dunia yang meyebabkan lalai dari Allah SWT untuk kemudian
memusatkan perhatiannya hanya ditujukan kepada Allah SWT.
Hubungan Psikologi dengan Tasawuf
adalah psikologi dapat mempengaruhi tingkat keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah,
seseorang yang secara psikologis baik dan tidak pernah berbuat kejelekan, maka
akan lebih mudah menjalankan konsep tasawuf tahali, takhali dan tajali. Yaitu
dengan menghiasi diri dengan kebaikan, menjauhi larangan Allah SWT dan lebih
meningkatkan keimanan serta lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dimensi Psikologi dalam Tasawuf
terbagi menjadi tiga yaitu dimensi penalaran, dimensi pengendalian, peramalan.
Dimensi ini menjelaskan tentang penalaran manusia yang harus bisa melatih dan
mengendalikan diri agar selalu berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk,
selain itu juga harus mampu meramalkan apakah perbuatan kita akan berdampak
buruk kedepannya atau tidak.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, Psikologi Kenabian, Yogyakarta:
Fajar Media Press, 2010.
Badrudin, Akhlak Tasawuf, Serang: IAIB Press, 2015.
Abdulkarim Utsman, Al-Dirasait Al-Nafsiyyah Ind Al-Muslimin,
Maktabah Wahbah 1401 H.
[1] Hamdani Bakran
Adz-Dzakiey, Psikologi Kenabian, Yogyakarta: Fajar Media Press, 2010, H
25
[2] Badrudin, Akhlak
Tasawuf, Serang: IAIB Press, 2015, H 57-58
[3] Ibid H
88-89
[4] Abdulkarim
Utsman, Al-Dirasait Al-Nafsiyyah Ind Al-Muslimin, H 22
0 comments:
Post a Comment