A.
Pendahuluan
Keberagamaan dalam Islam adalah
bentuk respon manusia terhadap ajaran agama yang tertuang dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah atau wujud konkrit perilaku beragama dalam kehidupan sehari-hari.
Perilaku beragama itu melibatkan aspek kognisi, afeksi dan psikomotor
seseorang. Keberagamaan antara satu orang dengan yang lain tentu berbeda pula
karena beberapa factor dan latar belakang yang mempengaruhinya.
“Tiadalah sama, orang yang berilmu
dan orang yang awam. Tiadalah sama pahala seorang imam dan seorang makmum.
Tiadalah Tuhan menilai hambanya kecuali atas dasar ketaqwaannya. Surga dan
neraka pun dicipta bertingkat-tingkat”. Dalam ini akan dijelaskan tentang apa
pengertian santri, bagaimana pola kehidupan di pesantren, dan bagaimana
keberagamaan santri jawa.
B.
Pengertian Santri
Istilah santri pada mulanya dipakai
untuk menyebut murid yang mengikuti pendidikan Islam. Istilah ini merupakan
perubahan bentuk dari kata shastri (seorang ahli kitab suci Hindu). Kata
Shastri diturunkan dari kata shastra yang berarti kitab suci atau
karya keagamaan atau karya ilmiah.[1]
Santri adalah peserta didik yang
belajar atau menuntut ilmu di pesantren. Jumlah santri biasanya menjadi tolak
ukur sejauh mana pesantren telah bertumbuh kembang. Manfred Ziemek
mengklarifikasikan istilah santri ini kedalam dua kategori, yaitu santri mukim
(santri yang bertempat tinggal di pesantren) dan santri kalong (santri yang
bertempat tinggal diluar pesantren yang mengunjungi pesantren secara teratur
untuk belajar agama).
C.
Pola Kehidupan di Pesantren
Pola kehidupan pesantren
termenifestasikan dalam istilah “pancajiwa” yang didalamnya memuat “lima jiwa”
yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri.
Kelima jiwa ini adalah sebagai berikut :
a.
Jiwa
Keikhlasan
Jiwa ini tergambarkan dalam ungkapan “sepi ing pamrih”, yaitu
perasaan semata-mata untuk beribadah yang sama sekali tidak termotivasi oleh
keinginan keuntungan-keuntungan tertentu. Jiwa ini terdapat dalam diri kiai dan
jajaran ustadz yang disegani oleh santri dan jiwa santri yang menaati-suasana
yang didorong oleh jiwa yang penuh cinta dan rasa hormat.
b.
Jiwa
Kesederhanaan
Kehidupan di pesantren diliputi suasana kesederhanaan yang
bersahaja yang mengandung kekuatan unsur kekuatan hati, ketabahan, dan
pengendalian diri didalam menghadapi berbagai macam rintangan hidup sehingga
dapat membentuk mental dan karakter dan membentuk jiwa yang besar, berani, dan
pantang mundur dalam segala keadaan.
c.
Jiwa
Kemandirian
Seorang santri bukan berarti harus belajar mengurus keperluan
sendiri, melainkan telah menjadi menjadi semacam prinsip bahwa sedari awal
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tidak pernah menyandarkan
kelangsungan hidup dan perkembangannya pada bantuan dan belas kasihan orang
lain, kebanyakan pesantren dirintis oleh kiai dengan hanya mengandalkan
dukungan dari para santri dan masyarakat sekitar.
d.
Jiwa
Ukhuwah Islamiah
Suasana kehidupan di pesantren selalu diliputi semangat
persaudaraan yang sangat akrab sehingga susah senang dilalui bersama, tidak ada
pembatas antara mereka meskipun sejatinya mereka berbeda-beda dalam berbagai
hal.
e.
Jiwa
Kebebasan
Para santri diberi kebebasan dalam memilih jalan hidup kelak di
tengah masyarakat. Mereka bebas menentukan masa depan dengan berbekal
pendidikan selama berada di pesantren.[2]
D.
Keberagamaan Santri Jawa
Greag Fealy dalam artikelnya
mencatat bahwa variasi tradisi santri jawa populer yang terus dikokohkan
dikalangan mereka adalah praktik-praktik lokal, seperti ritual lingkaran hidup,
ritual slametan, ziarah kubur, muludan, tahlil dan sebagainya. Greag Fealy
hanya mengambil satu sempel yaitu praktik ziarah kubur.
Ziarah kubur telah diajarkan oleh
Nabi Muhammad yang menganjurkan untuk berziarah kubur walaupun sebelumnya
dilarang karena dikhawatirkan merusak akidah umat yang masih rentan. Ziarah
kubur dalam Islam faedahnya antara lain agar mengingatkan kepada orang yang
hidup akan kematian sehingga dapat diambil peajaran darinya selain itu juga
mempunyai tempat tersendiri di dalam kultur Jawa, yaitu kebiasaan orang Jawa
yang selalu menaruh hormat kepada leluhur-leluhurnya. Bahkan pada waktu-waktu
tertentu, seperti datangnya bulan Ramadan, berziarah ke makam leluhur menjadi
bagian integral tradisi orang jawa yang disebut megengan, yaitu ritual
khusus untuk mempersiapkan diri (raga) dalam rangka memasuki bulan suci
Ramadan. Bulan suci Ramadan yang penuh “rahmat dan ampunan” dalam ajaran Islam
tidak bisa diraih jika tidak dengan jiwa-raga yang bersih, salah satunya dengan
cara memohon maaf kepada para leluhur melalui tradisi ziarah kubur.[3]
Menurut Clifford Greetz, secara
geografis golongan santri biasanya berada dalam wilayah disekitar pesisir pulau
Jawa, yang menjadi titik tolak penyebaran Islam yang berasal dari Timur Tengah.
Pemahaman mereka terhadap Islam cukup mendalam bahkan dalam pengamalan tergadap
syari’at Islam lebih murni. Itu sebabnya banyak muncul pesantren disepanjang
pantura pulau Jawa. Dengan demikian, santri kategorinya adalah orang yang
melaksanakan kewajiban agama secara cermat dan teratur, dalam hal ini juga
sesuai apabila disematkan pada masyarakat yang bermata pencaharian sebagai
pedagang karena interaksinya dengan dunia luar sangat intens. Clifford Greetz
menggambarkan bahwa inilah masyarakat Islam yang tinggal di Jawa yang memadukan
Islam dengan budaya lokal.[4]
E.
Kesimpulan
Santri adalah peserta didik yang
belajar atau menuntut ilmu di pesantren. Pola kehidupan pesantren
termenifestasikan dalam istilah “pancajiwa” yang didalamnya memuat “lima jiwa”
yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri
yaitu meliputi: Jiwa Keikhlasan, Jiwa
Kesederhanaan, Jiwa Kemandirian, Jiwa Ukhuwah Islamiah, Jiwa Kebebasan. Bagi kaum santri dalam
beribadah lebih pada penghayatan nilai-nilai ketuhanan tidak hanya ikut-ikutan
dan lebih bertoleran dalam menghadapi berbagai macam perbedaan/persoalan dalam
kaitannya dengan peribadatan.
F.
DAFTAR PUSTAKA
·
Fealy
Greg, Tradisionalisme Dan Perkembangan Politik NU, (Yogyakarta: LkiS:
1996).
·
Clifford
gretz.1964.The Religion Of Java.London.Free Press of Glence.
·
Pranomo
Bambang, Paradigma Baru Dalam Kajian Islam Jawa (Pustaka Alvabet: 2009).
·
Soehabar
Halim, Modernisasi Pesantren (Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang: 2013).
[1] Bambang
Pranomo, Paradigma Baru Dalam Kajian Islam Jawa (Pustaka Alvabet: 2009)
Hlm. 299
[2] Halim
Soehabar, Modernisasi Pesantren (Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang:
2013) Hlm. 39-46
[3] Greg Fealy, Tradisionalisme
Dan Perkembangan Politik NU, (Yogyakarta: LkiS: 1996) Hlm 7-8
[4] Clifford
gretz.1964.The Religion Of Java.London.Free Press of Glence
0 comments:
Post a Comment