Sunday 29 October 2017

Makalah Madzhab (Pengertian Madzhab, Sebab Kemunculan Madzhab, Sejarah Empat Madzhab, Hikmah dan Tujuan Mempelajari Madzhab)

A.    PENDAHUUAN
Islam pada masa Rasulullah SAW masih hidup apabila terdapat kekurangan paham terhadap suatu hukum, para sahabat langsung menanyakan kepada Rasulullah SAW, sehingga bisa cepat terselesaikan. Kemudian sepeninggalan Rasulullah SAW, para sahabat menggunakan pengalaman yang diperoleh dari perkataan, perbuatan dan kebiasaan beliau ketika masih hidup. Ketika sampai kepada masa tahap ini mereka berpegang kepada Al-Qur’an, As Sunnah dan kepada perkataan sahabat. Seiring perkembangan jaman persoalan semakin bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu, sementara tidak seluruhnya solusi permasalahan ditemukan dalam Al-Quran, As Sunnah maupun perkataan sahabat. Sehingga dilakukan jalan ijtihad sendiri, termasuk melakukan qiyas (analogi) sebagai syara’ (hukum Islam). Sehingga seiring perkembangan waktu pun banyak terjadi perbedaan madzhab. Madzhab adalah cara yang ditempuh atau jalan yang diikuti. Embriio dari perbedaanm adzhab ini adalah karena terjadi perbedaan cara pandang dan analisis terhadap nash (teks), walaupun semua mempunyai dasar yang sama yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah. Namun perbedaan tersebut dianggap wajar oleh para ulama fiqih. Karena berbagai faktor yang mempengaruhinya, diantaranya faktor intuisi, interaksi sosial budaya dan faktor adaptasi perkembangan jaman.
Dalam makalah ini akan membahas tentang apa yang dimaksud madzhab, sebab munculnya madzhab, sejarah empat madzhab, tujuan mempelajari perbandingan madzhab.

B.     PENGERTIAN MADZHAB
       Madzhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
       Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.[1]

C.    SEBAB MUNCULNYA MADZHAB
            Penyebab munculnya madzhab yaitu :
1.      Telah meninggalnya Rasulullah SAW dan banyak perbedaan argumentasi mengenai penyelesaian masalah-masalah baru.
2.      Meluasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah di Semenanjung Arab, Irak, Mesir, Syam, Persia, dan lain-lain.
3.      Pergaulan bangsa Muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya, mereka berbaur dengan budaya, adat-istiadat, serta tradisi bangsa tersebut.
4.      Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan dari pemerintahan Islam, membuat para Gubernur, Qadi (hakim) dan para Ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap permasalahan dan masalah-masalah baru yang dihadapi.


D.       SEJARAH SINGKAT EMPAT MADZHAB
1.      Imam Hanafi
    Imam Hanafi adalah seorang imam yang agung, yang memiliki nama lengkap Abu Hanifah An-Nu’man Bin Tsabit Bin Zuutha At-Taimiy Al-Kufiy. Beliau lahir di kota Kuffah pada tahun 80H/699M dan beliau wafat di Baghdad pada tahun 150H/767M. Beliau di gelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak kecil. Gelar ini merupakan berkah do’a dari doa Ali bin Abi Thalib yang mendoakan bahwa kelak keturunan Tsabit akan menjadi orang yang utama di zamanya. Terbukti dengan lahirnya Imam Hanafi. Beliau memperdalam ilmunya dalam belajar Al-Qur’an, aktif mempelajari ilmu fiqh, dan mempelajari hadits. Imam Hanafi dikenal sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik akan jabatan rezmi kenegaraan. Imam Hanafi meinggal saat umur 70 tahun yang bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i. Dan dimakamkan dipemakaman Khirza. Didirikanlah sekolah yang diberi nama Jami’ Abu Hanifah.

2.      Imam Malik
    Imam Malik mempunyai nama lengkap Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amar ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Ashabi al-Madani. Lahir pada 93H. Sebagai tokoh madzhab Maliki. Madzhab ini terkenal sebagai madrasah Ahlul-Hadist. Imam Malik sudah hafal Al-Qur’an dalam usia yang sangat dini, beliau juga menyusun beberapa kitab, kitab yang terkenal adalah kitab Al-Muwatha. Imam Malik mempelajari fiqih, teori-teori kajian hukum dan mempelajari hadis-hadis Nabi. Salah satu dalil hukum yang sering digunakan oleh Imam Malik adalah ijma ulama Madinah. Imam Malik lebih mengutamakan ajma dan amal Madinah daripada qiyah, khabar ahad, dan qaul sahabat.

3.      Imam Syafi’i
    Beliau bernama Muhammad bin Idris al-Syafi’i gelar beliau abu abdillah. Beliau dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Imam Syafi’i adalah orang yang cakap rupa parasnya. Dalam riwayat hidupnya Imam Syafi’i adalah ulama besar yang mampu mendalami serta menggabungkan antara metode ijtihad Imam Malik dan Abu Hanifah, beliau sangat hati-hati dalam berfatwa. Pada masa sekarang ini,  madzhab Asy-Syafi’i berkembang di Palestina, Yodania, Libanon, Syiria, Irak, Pakistan, India, Indonesia, Persia, dan Yaman yang sunni. Sekitar 100 juta umat Islam menganut madzhab Asy-Syafi’i.

4.      Imam Ahmad Ibn Hanbal
    Nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hilal bin Usd bin Idris bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syalban. Lahir pada 164 H. Beliau adalah seorang zuhud, bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan, berwawasan luas, sangat dalam pemahamannya terhadap ruh syariat. Beliau menguasai seluruh ilmu. Dalam pesantrennya, setiap selesai sholat ashar, beliau membiasakan memberi fatwa dan bersama para peserta pesantrennya menyebutkan diri dengan apa yang dilakukan oleh para ulama salaf dalam pesantren mereka, yaitu pengkajian Al-Qur’an dan tafsirnya. Beliau wafat pada 241 H.[2]


E.       TUJUAN MEMPELAJARI PERBANDINGAN MADZHAB
          Adapun tujuan mempelajari perbandingan madzhab yaitu :
1.      Untuk menimbulkan rasa saling menghormati atau toleransi (tasamuh) dengan yang berbeda pendapat. Ini menandakan bahwa Islam menghargai kebebasan menyatakan pendapat. Pendapat yang muncul bukan dijadikan sebagai ajang permusuhan atau perselisihan, tetapi sebagai tawaran alternatif untuk memberikan kemudahan dalam menyelesaikan persoalan dan realita hidup.
2.      Dapat mendekatkan berbagai Mazhab disatu pihak, sehingga perpecahan umat dapat disatukan kembali ataupun jurang perbedaan dapat diperkecil sehingga terjalin persaudaraan islam.
3.      Memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa perbedaan adalah sunnatullah yang tak bisa dihindari dimanapun ia berada.
4.      Dapat menimbulkan rasa puas dalam mengamalkan suatu hukum sebagai hasil dari berbagai pendapat imam Mazhab.
5.      Dapat menenteramkan jiwa karena membandingkan adalah jalan yang mudah untuk mengetahui cara-cara para Imam dalam menentukan hukum.

F.     KESIMPULAN
Madzhab menurut istilah adalah jalan yang dilalui dan dilewati. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
Penyebab munculnya madzhab yaitu : Telah meninggalnya Rasulullah SAW, Meluasnya daerah kekuasaan Islam, Pergaulan bangsa Muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya, Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan dari pemerintahan Islam.
Tokoh madzhab yang terkenal ada 4 yaitu Imam Hambali (80-150 H), Imam Malik (93-179 H), Imam Syafi’i (150-204 H), Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H).
Tujuan mempelajari perbandingan madzhab yaitu : Untuk menimbulkan rasa saling menghormati atau toleransi (tasamuh) dengan yang berbeda pendapat, Dapat mendekatkan berbagai Mazhab disatu pihak, Memberikan kesadaran kepada masyarakat, Dapat menimbulkan rasa puas dalam mengamalkan suatu hukum sebagai hasil dari berbagai pendapat imam Mazhab, Dapat menenteramkan jiwa.

G.    HIKMAH
Hikmah Mempelajari Perbandingan madzhab adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui   pendapat-pendapat   para   imam   mazhab   (para   imam mujtahid) dalam berbagai masalah yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau alasan-alasan yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat dancara-cara istinbath hukum dari dalilnya oleh mereka. Dengan mempelajari dalil-dalil   yang   digunakan   oleh   para   Imam   Mazhab   tersebut dalam menetapkan hukum, orang yang melakukan study Perbandingan Mazhab akanmendapat keuntungan ilmu pengetahuan secara sadar dan menyakinkan akanajaran agamanya.
2.      Mengetahui dasar-dasar dan qaidah-qaidah yang digunakan oleh imammazhab dalam menginstinbatkan hukum dari dalil-dalilnya. Dimana setiapimam mujtahid tersebut tidak menyimpang dan tidak keluar dari dalil-dalil al-Qur’an atau sunnah.
Dengan memperhatikan landasan berfikir para Imam Mazhab, orang yang melakukan studi Perbandingan Mazhab dapat mengetahui bahwa dasar-dasar mereka pada hakikatnya tidak keluar dari al-Qur’an dan sunnah. Atau mereka mengambil Qiyas Mashlahah Mursalah atau Istishab.

H.    DAFTAR PUSTAKA
·         Haidir Abdullah. Mazhab fiqh. King Fahd National Cataloging-In-Publication Data. 2004.
·         Farih Amir. Rekontruksi Fikih Dalam Lintas Sejarah. Semarang: CV Karya Abadi Jaya. 2015).
·         Azizy A Qodri. Reformasi Bermazhab. Jakarta: Teraju. 2003.





[1] Abdullah Haidir, Mazhab fiqh, (King Fahd National Cataloging-In-Publication Data: 2004) Hlm. 11-12
[2] Amir Farih, Rekontruksi Fikih Dalam Lintas Sejarah, (Semarang: CV Karya Abadi Jaya: 2015) Hlm. 130-170
Read More

Jurnal Tokoh Sufi Abad V dan Gerakan Pembaharuan Tasawuf

TOKOH SUFI ABAD V DAN GERAKAN PEMBAHARUAN TASAWUF
Mulyandari (1604046011/08)
Email: (+6285713334884)
Universitas Islam Negeri Semarang, Indonesia
Moh. Sholeh Afif (1604046012/09)
Email: Sholehafif34@gmail.com (+6282314384161)
Universitas Islam Negeri Semarang, Indonesia
Abstract: In the fifth century Hijriyah experienced a lot of renewal. Previously it was known that the fourth and third centuries in the teachings of Sufism mepunyai two Sufi groups. The first moderate group, based on the Qur'an and As-Sunnah. And the second group that embraces the mortal law (ie one with the god) and anti social. This anti-social attitude that led to Islamic civilization is more backward with Western Civilization. Until the birth of Sunni tasawuf based on the Qur'an and Sunnah in the days of Companions Rosullah Saw. Spearheaded by imam Al-Ghazali. And famous figures at that time, namely Al-Qusyairi and Al-Harawi. And Al-Hujwiri is famous for his thoughts on Sufism embodied in his works.
Keywords: Tasawuf, Islam, Al-Ghazali, Rasulullah, Sufi

Abstrak : Pada abad ke-lima Hijriyah yang banyak mengalami pembaharuan. Sebelumnya sudah diketahui bahwa abad ke-empat dan ke-tiga yang dalam ajaran tasawufnya mepunyai dua kelompok sufi. Pertama golongan moderat, yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah. Dan golongan keduan yang menganut hukum fana (yaitu menyatu dengan tuhan) dan anti sosial. Sikap anti sosial ini yang mengakibatkan peradaban Islam lebih terbelakang dengan Peradaban Barat. Hingga lahirlah tasawuf sunni yang berlandaskan Al-Qur’an dan sunnah pada zaman sahabat Rosullah Saw. Yang dipelopori oleh imam Al-Ghazali. Dan tokoh-tokoh yang terkenal pada waktu itu, yaitu Al-Qusyairi dan dan Al-Harawi. Dan Al- Hujwiri yang terkenal akan pemikirannhya tentang tasawuf yang tertuang dalam karya-karyanya.
Kata-kata kunci: Tasawuf, Islam, Al-Ghazali, Rasulullah, Sufi

Pendahuluan :
Dulu dalam pembahasan tasawuf hanya sebatas cara agar mendekatkan diri kepada Allah Swt, dan ini dikenal sejak abad ke-satu dan ke-dua yang banyk dikenal dengan ajaran zuhud dan fase esketisme. Pada fase ini orang-orang yang melakukan ajaran tasawuh hanya puas dengan melakukan ibadah saja. Merek tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.
Semakin berkembang ajaran dari tasawuf hingga sampai pada abad ke-tiga para sufi mulai menaruh perhatian pada hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, hingga menghasilkan sebuah ajaran tasawuf yang mengkaji moral dan metafisika. Dimana dalam hal ini metafisika berarti hal yang berupa hal hakiki.
Dan pada perkembangannya abad ke-empat dimana corak dari ajaran tasawuf lebih cenderung kearah filsafat hingga munculnya tarekat, hakekat, dan makrifat. Dimana banyak ajaran tasawuf yang menyimpang dari semestinya, dan abad ke-lima munculah tokoh-tokoh sufi yang mengembalikan ajaran tasawuf pada dasar Al-Qur’an dan As-sunnah.
Pembahasan :
Dalam perkembangan tasawuf abad ke-lima sendiri dipengaruhi oleh perkembangan sebelumnya. Dimana pada saat kematian al-Hallaj di atas tiang kayu menimbulkan kesan yang tidak baik terhadap pandadangan tasawuf  waktu itu.[1] Setelah beliau menjalani hukum mati pada tahun 922 M. Tahun-bertahun bertambahlah perbedan antara pandangan ilmu fiqih dengan tasawuh hingga puncaknya pada abad ke-lima yang membahas permasalahan mtafisika yang tinggi. Pada waktu itu terkenal tujuan dari tasawuf yaitu mencapai kebahagian jiwa dengan mencari tuhan.
Abad ke-empat berkembang tiga ilmu dalam Islam, yaitu ilmu tasawuf, ilmu kalam, dan ilmu fiqih. Dan berkembanglah pada waktu itu Madzhab Isma’illyah suatu Mazdhab yang mengembangkan ideologi mengagungkan keturunan Ali bin Abi Thalib dan mengangkatnya ke atas singgah sana kerajaan. Dalam Madzhab ini terkenal akan ajaranya yang keras dalam kaum syi’ah.  Yang dipercayai bahwa adanya 12 imam ghaib yang mendiami suatu  bukit bernama Ridwan, yang di tunggu kehadirannya. Kepercayaan tersebut memiliki pengertian sama dengan kaum sufi yang meyakini adanya “wali-ullah” sebagai kekasih Allah Swt.
Pada waktu itu ada beberapa sufi yang menjalankan ajaran tasawuf yang dalam upaya membangun mental-spiritual mendekatkan diri kepada Allah Swt, bahkan pula untuk menyatukan dirinya dengan sang pencipta. Dalam pengajaran ini menggunakan pengasingan diri yang lebih cenderung mempunyai kesan anti sosial. Dan abad ke-tiga dan ke-empat munculah dua kelompok dalam pengajaran tasawuf. Golongan pertama adalah orang yang memiliki paham moderat, yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Yang menganut pentingnya akan moralitas. Sedangkan golongan yang kedua lebih cenderung ke arah yang menjauhkan diri dari segala hiruk-piruk akan kehidupan sosial dan anti sosial. Menekan ke arah kefana-an (menghilang dengan tuhan). Dengan sifat anti sosial tersebut yang menghambat atau menolak sama sekali dari pembaharuan yang ada dan tidak mengikuti perkembangan yang ada, sehingga pada waktu itu perkembangan Islam mengalami kemunduran dan di dahului oleh perkembangan Barat.
Melihat beberapa pristiwa tersebut akhirnya timbulah kesadaran akan pengajaran tasawuf yang kurang tepat, sehingga pada abad ke-lima lahirlah tasawuf sunni yang penyandarannya pada Al-qur’an dan As-sunnah. Dinamakan sunni karena tasawuf ini di dasarkan kepada Sunnah Rosulullah dan para sahabat. Lalu munculah imam al-Ghazali pelopor dari ajaran ini. Imam al-Ghazali hanya meneriman tasawuf bedasar pada Al-Qur’an dan As-sunnah serta bertujuan sektisme (zuhud), kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang kajian tasawuf yang mendalam. Disisi lain, beiau juga melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum muktazilah dan batiniyah. Al-Ghazali berhasil menggunakan prinsip-prinsip tasawuf moderat, yang seiring dengan aliran Ahlussunnaah wal jama’ah yang bertentangan dengan prinsip Al-Hallaj dan Al-Bustami, terutama tentang karakter manusia.[2]
Tokoh lainnya yang sangat berpengaruh dalam perkembangan tasawuf pada abad ke-lima adalah Al-Qusyairi yang dengan bukunya yang bejudul Ar-Risalah Al-Qursyairi yang mengembalikan pemahaman tasawuf ke Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau menentang tentang ajaran yang mengajarkan syathahat, yang memadukan antra sifat-sifat tuhannya yang terdahulu dengan sifat-sifat manusia yang baru.
Abu Isma’il Al-Anshari, yang lebih dikenal dengan Al-Harawi. Sama dengan Al-Qusayari beliau juga berlandaskan kepada Ahlussunnah wal Jama’ah dan bahkan beliau dikenal sebagai pengasas pembaheuan dalam tasawuf dan menentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapan seperti Albustami dan Al-Hallaj.
Dan Al-Hujwiri sang pengarang dalam kitab Kasyful Mahjub yang menyajikan keterangan metode tasawuf, keterangan yang secara terperinci tentang para pengamal tarekat, serta biografi lengkap dari Al-Hallaj. Dalam buku beliau ini yang sangat membantu, karena di dalamnya secara terperinci menguraikan dua belas aliran tasawuf yang berkembang pada saat itu. Mengungkapkan beberapa persoalan yang sulit dan berat seperti makrifat dan sebagainya. Bukan hanya kitab Kasyful Mahjub masih banyak kitab-kitab beliau yang lannya.
Berikut merupakan biografi singkat dan ajaran tasawuf yang digunakan beberapa tokoh yang berpengaruh pada abad ke-lima hijriyah :
A.     Al-Qusayari

Nama lengkap dari Al-Qusayari adalah Abdul Karim bin Hawazin. Lahir tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat pengetahuan pada masanya.[3] Begitu pula dengan bertemunya Al-Qusayairi dengan gurunya Abu ‘Ali Ad-Daqqaq. Dan dari guru tersebut beliau belajar Tasawuf. Gurunya juga menganjurkan Al-Qusayairi untuk belajar syariat terlebih dahulu sehingga beliau pun bertemu dengan Abu Bakar bin Farauk (wafat tahun 406 H) yang seorang faqih untuk belajar ilmu fiqh. Selain itu Al-Qusayairi juga belajar kepada Abu Ishaq Al-Isfarayini (wafat tahun 418 H) yang banya menelaah karya dari Al-Baqillani, dan dari situlah Al-Qusyairi dapat mengusai doktrin dari Ahlussunnaah wal jama’ah  yang di kembangkan oleh Al-Asy’ari. Al-Qusayari berpegang pada doktrinya Ahlussunnaah wal jama’ah yang kuat hingga dengan beraninya beliau menentang ajaran Muktazilah, Mujassamah, Syi’ah, dan Karamiyah. Nemun dalam usaha beliau juga mendapatkan perlawanan yang sengit, dan akhirnya di penjara selama sebulan atas perintah Tughul Bek karena hasutan dari mentrinya yang menganut aliran Muktazilah rafidhah. Nama mentri tersebut adalah Amid al-Mulk al-Kunduri, dengan hasutan tersebut akhirnya Al-Qusayairi di penjara dan perjalannya selama itu diabadikan dalam karyanya yang berjudul Syikayah Ahl As-sunnah. Menurut Ibnu Khalikan, Al-Qusayairi adalah yang mampu mengompromikan syariat dengan hakikat.[4]

Berikut merupakan beberapa ajaran-ajaran tasawuf yang dibawakan Al-Qusayairi :

1.       Mengembalikan ajaran tasawuf ke landasan Ahlussunnah

Dalam karya Al-Qusayairi yang berjudul ar-Risalah al-Qusayairiyah jika dikaji lebih dalam tetang karya tersebut, pengembalian doktrin tasawuf kepada ahlus Sunnah sangatlah jelas. Dan dalam karya tersebut pula Al-Qusayairi secara implisit terkandung penolakan terhadap sufi syathahi, yaitu ajaran yang mencampurkan sifat-sifat ketuhanan dengan dengan sifat baharu-nya (makhluknya).

2.       Kesehatan Batin

Dalam hal ini Al-Qusayairi sangat prihatin terhadap para sufi pada masa-nya, dimana para sufi tersebut sangat senangnya menggunakan pakaian orang-orang miskin akan tetapi sayangnya tidak di barengi dalam tindakannya. Maka dalam hal ini ditekankan bahwa lebih penting untuk mementingkan kesehatan batin yang bepegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-sunnah dari pada dari kesan lahiriahnya saja. Sebagaimana dalam perkataannya, “Duhai, saudara ku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada para sufi sezamannya)”.

3.       Penyimpangan Para Sufi
Dalam menulis risalahnya Al-Qusyairi menumpahkan rasa sedihnya terhadap apa-apa yang menimpa ajaran tasawuf pada waktu itu. Pada masanya mulainya terjadi perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah ata dari segi-segi moral dan tingkah laku.

“kebayakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada. Dalam bekas mereke, tidak ada yang tinggal dari kelompok tersebut, kecuali bekas-bekas mereka. Kemah itu hanya serupa kemah mereka kaum wanitanya itu kulihat, bukan mereka”[5]

Dalam pendapatnya tersebut memang memiliki kesan yang terlalu berlebihan, akan tetapi beliau tak bermaksud untuk menjelek-jelekan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagai penyerunya. Dari Risalahnya hanya sekedar bentuk keluhan yterhadap dari ajaran tasawuf pada masanya.

Disini di tegaskan bahwa Al-Qusayairi dalam Risalahnya menggunakan rujukan dari doktrin Ahlussunnaah wal jama’ah, yanh mengikuti para sufi pada abad  ke-tiga dan ke-empat hijriyah sebagaimana yang sudah tertera dalam Ar-Risalah.

B.      Imam Al-Ghazali

Nama lengkap beliau adala Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i, lahir di desa Thus Tabaran terdekat di timur laut Iran pada tahun  450 H/1058 M. Secara singkat di panggil dengan sebutan Al-Ghazali[6] atau Abu Hamid Al-Ghazali[7]. Kelahiran beliau serselng tiga tahun sebelum kaum Saljuk mengambil ahli kekuasaan di Baghdad.

Ayah dari Imam Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol yang sangat mencintai ulama sehingga menginginkan anaknya menjadi sufi dan ahli hukum. Al-Ghazali dan adiknya Ahmad menjadi yatim ketika masih muda, dan meninggalkan mereka sedikit uang dalam perawatan seorang sufi. Dan ketika uang peninggalan ayahnya sedikit, saat mereka terdaftar dalam sebuah madrasah.

Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian beliau mempelajari ilmu mantiq, ilmu kalam, ilmu fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/1086 M). Dan pada waktu yang sama beliau juga mempelajari teori-teori Tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj, seehingga melakukan latihan dan praktik tasawuf tersebut.

Beliau mendapatkan julukan “Bahr Mu’rriq”[8] ( lutan yang menghanyutkan) oleh al-Juwaini karena kemahirannya dalam memberikan jawaban dalam sanggahan-sanggahan pada penentang ilmu yang di berikan oleh Al-Juwaini. Al-Ghazali dimintai oleh Perdana Mentri sat itu Nizam Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamyah, Baghdad pada tahun 483 H/1090 M, pada usianya yang ke 30 tahun. Dan juga aktif dalam perdebatan dengan golongan-golongan pada waktu itu. Namun dalam kegiatan itu beliau merasa belum cukup dalam kepuasan batinya, sehingga memutuskan untuk melepaskan jabatannya dan hijrah ke Syiria,Palestina, dan Mekah untuk mencari kebenaran. hingga mendapatkan kebenaran tersebut hingga beliau meninggal pada tahun 505 H/1111 M.

Selama masa hidupnya Imam Al-Ghazali membuat karangan hingga mencapai 300 buah. Dimana diawal mengarangnya di umur 25 tahun. Yang setiap tahunnya ada 10 kitab kecil atau besar yang sudah dikarannya yang meliputi ilmu filsafat, ilmu kalam, fiqh-ushl fiqh, tafsir, tasawuf, dan akhlak.[9]

Dan berikut merupakan pengajaran Al-Ghazali dalam bidang tasawuf, Al-Ghazali lebih cederung terhadap tasawuf sunni dengang berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah dengan diikuti doktrin Ahlussunnaah wal jama’ah. Bertentangan dengan paham sekte Isma’iliyyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa dan lain-lainnya. Beliau menentang tentang pemahaman filsafat dari Aristoteles yang bercoran emanasi dan penyatuan, dalam hal ini corak yang di ambil Imam Al-ghazali adalah psiko-moral yang menghasilkan moral atau yang bisa disebut tasawuf akhlaqi.

Al-Ghazali juga kurang setuju dengan pandangan tasawuf dari Al-Halaj dan Abu Yazid Al-Busthami. Beliau menolak paham hulul dan ittihad, lalu keluarlah paham baru tentang Makrifat, yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt (taqarrub ila Allah) tanpa adanya penyatuan. Berpendapat bahwa menuju kemakrifatan adalah perpaduan ilmu dan amal, yang menghasilkan moralitas. Makrifat yang dimaksud mlalui bentuk latihan jiwa dengan pencapaian rohani dengan tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Dengan itu beliau dapat disatukan dari tiga ilmu yaitu tasawuf, fiqh, dan kalam. Yang sebelumnya terjadi ketegangan. Selain itu juga Al-Ghazali menjadikan tasawuf dijadikan sarana untk mengolah rasa dan mengolah jiwa, sehingga mencapai makrifat yang mampu menciptakan (sa’adah).

Dengan karyanya yang sampai sekarang sangat berpengaruh bagi perkembangan tasawuf adalah kitab Ihya Ulumudin yang telah menjadi rujukan ilmu fiqh di seantero dunia dari zaman penulisnnya hingga sekarang dan sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa.

C.     Al-Harawi

Al-Harawi mempunyai nama lengkap lengkap Abu Isma’il Abdullah bin Muhammad al-Ansari.lahir pada tahun 396 H, di Heart, kawasan Khurasan. Seperti yang dikatakan Massignon, dia adalah seorang faqih yag bermadzhab Hanbali. D`alam karya-karyanya dipandang sangat berpengaruh pada abad ke-lima hijriyah dalam pemberuhuan tasawuf, dimana menggunakan doktrin As-sunnah yang menentang ungkapan-ungkapan dari Al-Hallaj dan Al-Bustami yang menyatakan penyatuan dengan tuhan.

Karya-karyanya tentang Tasawuf diantaranya Manazil al-sa’irin illa rabb al-Alamin. Dimana dalam karya ringkas ini beliau meguraikan tingkatan-tingkatan rohaniah para sufi, yang menyatakan tingkatan dari para sufi mempunyai awal dan akhir. Seperti katanya : “kebanyakan ulama keelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal. Seperti halnya dengan sebuah bangunan diman tifdaklah kokoh jika fondasinya  juga tidak kokoh. Dan yang dimaksud tingkatan awal ini adalah meengakkan rasa ikhlas terhadap keikutannya dengan As-sunnah.”

Dalam kedudukannya sebagai sufi, Al-Hurawi tidak sependapat dengan sufi yang terkenal dengan keanehan dalam pengucapannya, dengan pembicaraanya tentang maqam ketenangan (sakinah) yang menimbulkan rasa ridha. Perigkat ketiga dari sakinah adalah ketenangan yang timbul dari rasa ridha atas bagian yang diterimannya menghindari dari pengucapan aneh yang menyesatkan. Karena jika ketenangan tersebut telah bersemayam dalam maka kalbu maka terhindarlah dari ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.

Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi  pada batas tinkatan kedudukannya sebagai hamba. Ditegaskan tidaklah melewati dari batas-batasnya sebagai hamba. Menurut  Al-Harawi tidaklah sampai ketenangan tersebut kecuali di kalbu para nabi atau wali.

D.    Al-Hujwiri

Nama lengkap dari Al-Hujwiri adalah Abu Hasan Ali bin Usman bin Al-Ghazali Al-Jullabi Al-Hujwiri, lahir di Ghaznah, Persia (iran), pada abad ke 5 H/11 M. Yang sekarang Ghaznah termasuk dalam wilayah Afganistan. Beliau meruapakan penulis pertama dalam kitab sufi yang pertama kali ditulis dalam bahasa Persia. Judul dari kitab tesebut adalah Kasyful Mahjub.

Tidaklah banyak yang menulisakan biografinya kecuali dengan catatan dari kitabnya sendiri Kasyful Mahjub. Dalam pejalanan menuntut ilmunya beliau pernah menjadi murid dari Abu Abbas Al-Syaqani, kemudian Abu Fadhl Muhammad bin Hasan Al-Khuttali dan Abu Al-Qasim Al-Jurjani (wafat 1059) serta Khawaja Al-Muzaffar Ahmad bin Hamdan. Dan beliau juga menuntut ilmu di Irak, Khurasan di Timur Tengah, Kurdistan dan Azarbaijan, Jujar, Samarkhand, hingga Lahore di India. Dan menetap di Lahore selama empat tahun.

Selama di Lahore beliau menyebarkan Islam di India, penegakan syariat islam dan meningkatkan pengetahuan kaum muslim. Namun pada tahun 432 H Hindu menyerang Lahore dan Al-Hujwiri pun di tangkap sebagai tahanan tak lama kemudian di bebaskan pasukan muslaim Ghaznanh dan pindah ke Ghaznah lalu ke khurasan. Tapi tak lama dari itu kemudian beliau lembali ke Lahore hingga wafat pada 1073 M/ 465 H.

Al-Hujwiri memiliki pemikiran yang sangat luas, dimana beliau sering bertemu dengan berbagai ulama dan intelektual dan tidak lupa dengan kerajinannya dalam membaca berbagai macam literatur. Hingga beliau termasuk dalam ulama yang berpenaruh dalam dunia tasawuf. Diantara sebab yang membuat Al-Hujwiri sangat berpengaruh dalam dunia Tasawuf adalah hasil dari karya-karyanya. Bukunya  Kasyful Mahjub menyatakan beberapa karyanya yang lain berjumlah sepuluh diantaranya : Diwan Minhaj Al-Din, Al-Khiraq al-Mulawwanat, Fana U Baqa dan yang lainnya. Namun ada dua kitabnya yang dipinjam oleh orang lain namun tidak dikembalikan kembali, hingga diterbitkannya karya tersebut (yang telah dipinjam) dengan nama pengarang yang berbeda bukan dirinya. Hingga mengakibatkan beliau menyesal telah meminjamkan kitab tersebut.

Dalam kitab Kasyful Mahjub di mata para pengamat memiliki beberapa kelebihan yang dimuat di dalamnya. Diantaranya penguraian tajam tentang pembahasan aliran tasawuf yang berkembang pada waktu itu, pengungkapan persoalan tasawuf yang bera pada waktu itu seperti makrifat dan sebagainya. Dalam pembahasan beberapa aliran tasawuf yang mudah untuk dipahami.

Sebagai salah satu pengikut dari Ahlussunnaah wal jama’ah, Al-Hujwiri dikenal sebagai ulama yang berusaha mendamaikan tasawuf, fiqh, dan teologi.  Beliau menegaskan bahwa ada keterkaitan yang erat antara syariat dan hakekat, menurutnya syariat tanpa hakekat tidak membuahkan apa-apa. Sedangkan hakekat tanpa syarat, hanya membuahkan kemunafikan. Al-Hujwiri membagi orang-orang tasawuf menjadi tiga golongan yaitu sufi, Mutasawwin, dan Mutashwif. Sufi adalah orang yang sudah fana (lenyap) dari dirinya, baqa (abadi) berasama Al-Haq, bebas dari gengamman tabiat dan mencapai hakekat dari segala hakekat. Mutashawwin adalah orang yang sedang berjuang keras untuk mencapai derajat sufi. Adapun Mutashwif adalah orang yang berpura-pura seperti sufi tapi dengan kepentingan duniawi.

Dalam pengambaran tokoh-tokoh sekilas yang berperan dalam pengajaran tasawuf pada abad ke-lima, dapat dilihat beberapa karakteristik dari pengajaran tasawuf tersebut. Disebut juga tasawuf pada abad ke-lima ini dengan Sunni atau akhlaki, dan berikut merupakan karakteristik yang menonjol pada waktu itu :
1.        Lebih utama berlandaskan pada konteks Al-Qur’an dan Hadits, jadi selain dalam pembahasan ini tidaklah dibahas atau dikaji. Namun jika ada yang memerlukan penafsiran maka hanya dilakukan dengan sifatnya yang sekedar dan idak begitu mendalam.
2.       Lebih mengajarkan kepada pengajaran dualisme. Yang dimaksudkan dualisme dalam hal ini ialah pengertian mengenai sifat tuhan dan manusia adalah dua hal yang berbeda. Dan jika orang tersebut  dapat berhubungan dengan tuhannya, hanyalah sebatas dekat. Tidak menggunakan sistem penyatuan dengan tuhannya.
3.       Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at. Dalam pengertiannya keterkaitan antara tasawuf sebagai aspek batiniyah dengan fiqh sebagai aspek lahirnya. Kaum sufi di kalang sunni tetap memandang penting persoalan-persoalan lahiriyah formal, seperti aturan-aturan yang dianut para fuqoha. Bahkan aturan-aturan tersebut di pandang sebagai jembatan menuju tuhan.
4.       Lebih beronsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.

Daftar Pustaka
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak Tasawuf : Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya Disertai Biografi dan Tokoh-Tokoh Sufi, (Jakarta : Raja Wali Pers, 2013)

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta : Yayasan Nurul Islam,1981)

M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung : pustaka Setia, 2008).





[1] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta : Yayasan Nurul Islam,1981), hlm. 123.
[2] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung : pustaka Setia, 2008), hlm.,66.
[3] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak Tasawuf : Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya Disertai Biografi dan Tokoh-Tokoh Sufi, (Jakarta : Raja Wali Pers, 2013), hlm. 220.
[4] Ibid, hlm. 221.
[5] Ibid, hlm. 222.
[6] Di panggil Al-Ghazai karena karena ia dilahirkan di desa Ghazal.
[7] Ia dipanggil Abu Hamid karena ia mempunyai anak laki-laki yang bernama Abu Hamid. Anak ini meninggal ketika masih kecil sebelum wafatnya Al-Ghazali. Sehingga beliau lebih dikenal dengan sebutan Abu Hamid. Ibid., hlm. 135.
[8] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung : pustaka Setia, 2008),  hlm. 136.
[9] Ibid., hlm. 138.
Read More

Makalah Santri (Pengertian Santri, Pola Kehidupan Di Pesantren, dan Keberagamaan Santri Jawa)

A.    Pendahuluan
Keberagamaan dalam Islam adalah bentuk respon manusia terhadap ajaran agama yang tertuang dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah atau wujud konkrit perilaku beragama dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku beragama itu melibatkan aspek kognisi, afeksi dan psikomotor seseorang. Keberagamaan antara satu orang dengan yang lain tentu berbeda pula karena beberapa factor dan latar belakang yang mempengaruhinya.
“Tiadalah sama, orang yang berilmu dan orang yang awam. Tiadalah sama pahala seorang imam dan seorang makmum. Tiadalah Tuhan menilai hambanya kecuali atas dasar ketaqwaannya. Surga dan neraka pun dicipta bertingkat-tingkat”. Dalam ini akan dijelaskan tentang apa pengertian santri, bagaimana pola kehidupan di pesantren, dan bagaimana keberagamaan santri jawa.

B.     Pengertian Santri
Istilah santri pada mulanya dipakai untuk menyebut murid yang mengikuti pendidikan Islam. Istilah ini merupakan perubahan bentuk dari kata shastri (seorang ahli kitab suci Hindu). Kata Shastri diturunkan dari kata shastra yang berarti kitab suci atau karya keagamaan atau karya ilmiah.[1]
Santri adalah peserta didik yang belajar atau menuntut ilmu di pesantren. Jumlah santri biasanya menjadi tolak ukur sejauh mana pesantren telah bertumbuh kembang. Manfred Ziemek mengklarifikasikan istilah santri ini kedalam dua kategori, yaitu santri mukim (santri yang bertempat tinggal di pesantren) dan santri kalong (santri yang bertempat tinggal diluar pesantren yang mengunjungi pesantren secara teratur untuk belajar agama).

C.    Pola Kehidupan di Pesantren
Pola kehidupan pesantren termenifestasikan dalam istilah “pancajiwa” yang didalamnya memuat “lima jiwa” yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri. Kelima jiwa ini adalah sebagai berikut :
a.       Jiwa Keikhlasan
Jiwa ini tergambarkan dalam ungkapan “sepi ing pamrih”, yaitu perasaan semata-mata untuk beribadah yang sama sekali tidak termotivasi oleh keinginan keuntungan-keuntungan tertentu. Jiwa ini terdapat dalam diri kiai dan jajaran ustadz yang disegani oleh santri dan jiwa santri yang menaati-suasana yang didorong oleh jiwa yang penuh cinta dan rasa hormat.
b.      Jiwa Kesederhanaan
Kehidupan di pesantren diliputi suasana kesederhanaan yang bersahaja yang mengandung kekuatan unsur kekuatan hati, ketabahan, dan pengendalian diri didalam menghadapi berbagai macam rintangan hidup sehingga dapat membentuk mental dan karakter dan membentuk jiwa yang besar, berani, dan pantang mundur dalam segala keadaan.
c.       Jiwa Kemandirian
Seorang santri bukan berarti harus belajar mengurus keperluan sendiri, melainkan telah menjadi menjadi semacam prinsip bahwa sedari awal pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tidak pernah menyandarkan kelangsungan hidup dan perkembangannya pada bantuan dan belas kasihan orang lain, kebanyakan pesantren dirintis oleh kiai dengan hanya mengandalkan dukungan dari para santri dan masyarakat sekitar.
d.      Jiwa Ukhuwah Islamiah
Suasana kehidupan di pesantren selalu diliputi semangat persaudaraan yang sangat akrab sehingga susah senang dilalui bersama, tidak ada pembatas antara mereka meskipun sejatinya mereka berbeda-beda dalam berbagai hal.
e.       Jiwa Kebebasan
Para santri diberi kebebasan dalam memilih jalan hidup kelak di tengah masyarakat. Mereka bebas menentukan masa depan dengan berbekal pendidikan selama berada di pesantren.[2]

D.    Keberagamaan Santri Jawa
Greag Fealy dalam artikelnya mencatat bahwa variasi tradisi santri jawa populer yang terus dikokohkan dikalangan mereka adalah praktik-praktik lokal, seperti ritual lingkaran hidup, ritual slametan, ziarah kubur, muludan, tahlil dan sebagainya. Greag Fealy hanya mengambil satu sempel yaitu praktik ziarah kubur.
Ziarah kubur telah diajarkan oleh Nabi Muhammad yang menganjurkan untuk berziarah kubur walaupun sebelumnya dilarang karena dikhawatirkan merusak akidah umat yang masih rentan. Ziarah kubur dalam Islam faedahnya antara lain agar mengingatkan kepada orang yang hidup akan kematian sehingga dapat diambil peajaran darinya selain itu juga mempunyai tempat tersendiri di dalam kultur Jawa, yaitu kebiasaan orang Jawa yang selalu menaruh hormat kepada leluhur-leluhurnya. Bahkan pada waktu-waktu tertentu, seperti datangnya bulan Ramadan, berziarah ke makam leluhur menjadi bagian integral tradisi orang jawa yang disebut megengan, yaitu ritual khusus untuk mempersiapkan diri (raga) dalam rangka memasuki bulan suci Ramadan. Bulan suci Ramadan yang penuh “rahmat dan ampunan” dalam ajaran Islam tidak bisa diraih jika tidak dengan jiwa-raga yang bersih, salah satunya dengan cara memohon maaf kepada para leluhur melalui tradisi ziarah kubur.[3]
Menurut Clifford Greetz, secara geografis golongan santri biasanya berada dalam wilayah disekitar pesisir pulau Jawa, yang menjadi titik tolak penyebaran Islam yang berasal dari Timur Tengah. Pemahaman mereka terhadap Islam cukup mendalam bahkan dalam pengamalan tergadap syari’at Islam lebih murni. Itu sebabnya banyak muncul pesantren disepanjang pantura pulau Jawa. Dengan demikian, santri kategorinya adalah orang yang melaksanakan kewajiban agama secara cermat dan teratur, dalam hal ini juga sesuai apabila disematkan pada masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang karena interaksinya dengan dunia luar sangat intens. Clifford Greetz menggambarkan bahwa inilah masyarakat Islam yang tinggal di Jawa yang memadukan Islam dengan budaya lokal.[4]

E.     Kesimpulan
Santri adalah peserta didik yang belajar atau menuntut ilmu di pesantren. Pola kehidupan pesantren termenifestasikan dalam istilah “pancajiwa” yang didalamnya memuat “lima jiwa” yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri yaitu meliputi: Jiwa Keikhlasan, Jiwa Kesederhanaan, Jiwa Kemandirian, Jiwa Ukhuwah Islamiah, Jiwa Kebebasan. Bagi kaum santri dalam beribadah lebih pada penghayatan nilai-nilai ketuhanan tidak hanya ikut-ikutan dan lebih bertoleran dalam menghadapi berbagai macam perbedaan/persoalan dalam kaitannya dengan peribadatan.

F.     DAFTAR PUSTAKA
·         Fealy Greg, Tradisionalisme Dan Perkembangan Politik NU, (Yogyakarta: LkiS: 1996).
·         Clifford gretz.1964.The Religion Of Java.London.Free Press of Glence.
·         Pranomo Bambang, Paradigma Baru Dalam Kajian Islam Jawa (Pustaka Alvabet: 2009).
·         Soehabar Halim, Modernisasi Pesantren (Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang: 2013).



[1] Bambang Pranomo, Paradigma Baru Dalam Kajian Islam Jawa (Pustaka Alvabet: 2009) Hlm. 299
[2] Halim Soehabar, Modernisasi Pesantren (Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang: 2013) Hlm. 39-46
[3] Greg Fealy, Tradisionalisme Dan Perkembangan Politik NU, (Yogyakarta: LkiS: 1996) Hlm 7-8
[4] Clifford gretz.1964.The Religion Of Java.London.Free Press of Glence
Read More

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

kumpulan makalah afif

Popular Posts

Powered by Blogger.

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Kumpulan Artikel dan Makalah Belajar Lebih Dalam Tentang Islam | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com