TOKOH
SUFI ABAD V DAN GERAKAN PEMBAHARUAN TASAWUF
Mulyandari
(1604046011/08)
Email:
(+6285713334884)
Universitas
Islam Negeri Semarang, Indonesia
Moh.
Sholeh Afif (1604046012/09)
Universitas
Islam Negeri Semarang, Indonesia
Abstract: In the fifth century Hijriyah experienced a lot of renewal. Previously it was known that the fourth and third centuries in the teachings of Sufism mepunyai two Sufi groups. The first moderate group, based on the Qur'an and As-Sunnah. And the second group that embraces the mortal law (ie one with the god) and anti social. This anti-social attitude that led to Islamic civilization is more backward with Western Civilization. Until the birth of Sunni tasawuf based on the Qur'an and Sunnah in the days of Companions Rosullah Saw. Spearheaded by imam Al-Ghazali. And famous figures at that time, namely Al-Qusyairi and Al-Harawi. And Al-Hujwiri is famous for his thoughts on Sufism embodied in his works.
Keywords:
Tasawuf, Islam, Al-Ghazali, Rasulullah, Sufi
Abstrak : Pada abad ke-lima
Hijriyah yang banyak mengalami pembaharuan. Sebelumnya sudah diketahui bahwa
abad ke-empat dan ke-tiga yang dalam ajaran tasawufnya mepunyai dua kelompok
sufi. Pertama golongan moderat, yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah. Dan
golongan keduan yang menganut hukum fana (yaitu menyatu dengan tuhan) dan anti
sosial. Sikap anti sosial ini yang mengakibatkan peradaban Islam lebih
terbelakang dengan Peradaban Barat. Hingga lahirlah tasawuf sunni yang
berlandaskan Al-Qur’an dan sunnah pada zaman sahabat Rosullah Saw. Yang
dipelopori oleh imam Al-Ghazali. Dan tokoh-tokoh yang terkenal pada waktu itu,
yaitu Al-Qusyairi dan dan Al-Harawi. Dan Al- Hujwiri yang terkenal akan
pemikirannhya tentang tasawuf yang tertuang dalam karya-karyanya.
Kata-kata kunci: Tasawuf, Islam,
Al-Ghazali, Rasulullah, Sufi
Pendahuluan :
Dulu dalam pembahasan tasawuf
hanya sebatas cara agar mendekatkan diri kepada Allah Swt, dan ini dikenal
sejak abad ke-satu dan ke-dua yang banyk dikenal dengan ajaran zuhud dan fase
esketisme. Pada fase ini orang-orang yang melakukan ajaran tasawuh hanya puas
dengan melakukan ibadah saja. Merek tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun
tempat tinggal.
Semakin berkembang ajaran dari
tasawuf hingga sampai pada abad ke-tiga para sufi mulai menaruh perhatian pada
hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, hingga menghasilkan sebuah
ajaran tasawuf yang mengkaji moral dan metafisika. Dimana dalam hal ini
metafisika berarti hal yang berupa hal hakiki.
Dan pada perkembangannya abad
ke-empat dimana corak dari ajaran tasawuf lebih cenderung kearah filsafat
hingga munculnya tarekat, hakekat, dan makrifat. Dimana banyak ajaran tasawuf
yang menyimpang dari semestinya, dan abad ke-lima munculah tokoh-tokoh sufi
yang mengembalikan ajaran tasawuf pada dasar Al-Qur’an dan As-sunnah.
Pembahasan :
Dalam perkembangan tasawuf abad
ke-lima sendiri dipengaruhi oleh perkembangan sebelumnya. Dimana pada saat
kematian al-Hallaj di atas tiang kayu menimbulkan kesan yang tidak baik terhadap
pandadangan tasawuf waktu itu.
Setelah beliau menjalani hukum mati pada tahun 922 M. Tahun-bertahun
bertambahlah perbedan antara pandangan ilmu fiqih dengan tasawuh hingga
puncaknya pada abad ke-lima yang membahas permasalahan mtafisika yang tinggi.
Pada waktu itu terkenal tujuan dari tasawuf yaitu mencapai kebahagian jiwa
dengan mencari tuhan.
Abad ke-empat berkembang tiga
ilmu dalam Islam, yaitu ilmu tasawuf, ilmu kalam, dan ilmu fiqih. Dan
berkembanglah pada waktu itu Madzhab Isma’illyah suatu Mazdhab yang
mengembangkan ideologi mengagungkan keturunan Ali bin Abi Thalib dan
mengangkatnya ke atas singgah sana kerajaan. Dalam Madzhab ini terkenal akan
ajaranya yang keras dalam kaum syi’ah.
Yang dipercayai bahwa adanya 12 imam ghaib yang mendiami suatu bukit bernama Ridwan, yang di tunggu
kehadirannya. Kepercayaan tersebut memiliki pengertian sama dengan kaum sufi
yang meyakini adanya “wali-ullah” sebagai kekasih Allah Swt.
Pada waktu itu ada beberapa sufi
yang menjalankan ajaran tasawuf yang dalam upaya membangun mental-spiritual
mendekatkan diri kepada Allah Swt, bahkan pula untuk menyatukan dirinya dengan
sang pencipta. Dalam pengajaran ini menggunakan pengasingan diri yang lebih
cenderung mempunyai kesan anti sosial. Dan abad ke-tiga dan ke-empat munculah
dua kelompok dalam pengajaran tasawuf. Golongan pertama adalah orang yang
memiliki paham moderat, yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Yang menganut
pentingnya akan moralitas. Sedangkan golongan yang kedua lebih cenderung ke
arah yang menjauhkan diri dari segala hiruk-piruk akan kehidupan sosial dan
anti sosial. Menekan ke arah kefana-an (menghilang dengan tuhan). Dengan sifat
anti sosial tersebut yang menghambat atau menolak sama sekali dari pembaharuan
yang ada dan tidak mengikuti perkembangan yang ada, sehingga pada waktu itu
perkembangan Islam mengalami kemunduran dan di dahului oleh perkembangan Barat.
Melihat beberapa pristiwa
tersebut akhirnya timbulah kesadaran akan pengajaran tasawuf yang kurang tepat,
sehingga pada abad ke-lima lahirlah tasawuf sunni yang penyandarannya pada
Al-qur’an dan As-sunnah. Dinamakan sunni karena tasawuf ini di dasarkan kepada
Sunnah Rosulullah dan para sahabat. Lalu munculah imam al-Ghazali pelopor dari
ajaran ini. Imam al-Ghazali hanya meneriman tasawuf bedasar pada Al-Qur’an dan
As-sunnah serta bertujuan sektisme (zuhud),
kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang
kajian tasawuf yang mendalam. Disisi lain, beiau juga melancarkan kritikan
tajam terhadap para filosof, kaum muktazilah dan batiniyah. Al-Ghazali berhasil
menggunakan prinsip-prinsip tasawuf moderat, yang seiring dengan aliran Ahlussunnaah wal jama’ah yang
bertentangan dengan prinsip Al-Hallaj dan Al-Bustami, terutama tentang karakter
manusia.
Tokoh lainnya yang sangat
berpengaruh dalam perkembangan tasawuf pada abad ke-lima adalah Al-Qusyairi
yang dengan bukunya yang bejudul Ar-Risalah Al-Qursyairi yang mengembalikan
pemahaman tasawuf ke Ahlussunnah wal
Jama’ah. Beliau menentang tentang ajaran yang mengajarkan syathahat, yang memadukan antra
sifat-sifat tuhannya yang terdahulu dengan sifat-sifat manusia yang baru.
Abu Isma’il Al-Anshari, yang
lebih dikenal dengan Al-Harawi. Sama dengan Al-Qusayari beliau juga
berlandaskan kepada Ahlussunnah wal Jama’ah
dan bahkan beliau dikenal sebagai pengasas pembaheuan dalam tasawuf dan
menentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapan seperti
Albustami dan Al-Hallaj.
Dan Al-Hujwiri sang pengarang
dalam kitab Kasyful Mahjub yang
menyajikan keterangan metode tasawuf, keterangan yang secara terperinci tentang
para pengamal tarekat, serta biografi lengkap dari Al-Hallaj. Dalam buku beliau
ini yang sangat membantu, karena di dalamnya secara terperinci menguraikan dua
belas aliran tasawuf yang berkembang pada saat itu. Mengungkapkan beberapa
persoalan yang sulit dan berat seperti makrifat dan sebagainya. Bukan hanya
kitab Kasyful Mahjub masih banyak
kitab-kitab beliau yang lannya.
Berikut merupakan biografi
singkat dan ajaran tasawuf yang digunakan beberapa tokoh yang berpengaruh pada
abad ke-lima hijriyah :
A. Al-Qusayari
Nama
lengkap dari Al-Qusayari adalah Abdul Karim bin Hawazin. Lahir tahun 376 H di
Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat pengetahuan pada masanya.
Begitu pula dengan bertemunya Al-Qusayairi dengan gurunya Abu ‘Ali Ad-Daqqaq.
Dan dari guru tersebut beliau belajar Tasawuf. Gurunya juga menganjurkan
Al-Qusayairi untuk belajar syariat terlebih dahulu sehingga beliau pun bertemu
dengan Abu Bakar bin Farauk (wafat tahun 406 H) yang seorang faqih untuk
belajar ilmu fiqh. Selain itu Al-Qusayairi juga belajar kepada Abu Ishaq
Al-Isfarayini (wafat tahun 418 H) yang banya menelaah karya dari Al-Baqillani,
dan dari situlah Al-Qusyairi dapat mengusai doktrin dari Ahlussunnaah wal jama’ah yang di kembangkan oleh Al-Asy’ari. Al-Qusayari
berpegang pada doktrinya Ahlussunnaah wal
jama’ah yang kuat hingga dengan beraninya beliau menentang ajaran
Muktazilah, Mujassamah, Syi’ah, dan Karamiyah. Nemun dalam usaha beliau juga
mendapatkan perlawanan yang sengit, dan akhirnya di penjara selama sebulan atas
perintah Tughul Bek karena hasutan dari mentrinya yang menganut aliran
Muktazilah rafidhah. Nama mentri tersebut adalah Amid al-Mulk al-Kunduri,
dengan hasutan tersebut akhirnya Al-Qusayairi di penjara dan perjalannya selama
itu diabadikan dalam karyanya yang berjudul Syikayah Ahl As-sunnah. Menurut
Ibnu Khalikan, Al-Qusayairi adalah yang mampu mengompromikan syariat dengan
hakikat.
Berikut
merupakan beberapa ajaran-ajaran tasawuf yang dibawakan Al-Qusayairi :
1.
Mengembalikan ajaran
tasawuf ke landasan Ahlussunnah
Dalam karya Al-Qusayairi yang berjudul ar-Risalah
al-Qusayairiyah jika dikaji lebih dalam tetang karya tersebut, pengembalian
doktrin tasawuf kepada ahlus Sunnah sangatlah jelas. Dan dalam karya tersebut
pula Al-Qusayairi secara implisit terkandung penolakan terhadap sufi syathahi,
yaitu ajaran yang mencampurkan sifat-sifat ketuhanan dengan dengan sifat
baharu-nya (makhluknya).
2.
Kesehatan Batin
Dalam hal ini Al-Qusayairi sangat prihatin
terhadap para sufi pada masa-nya, dimana para sufi tersebut sangat senangnya
menggunakan pakaian orang-orang miskin akan tetapi sayangnya tidak di barengi
dalam tindakannya. Maka dalam hal ini ditekankan bahwa lebih penting untuk mementingkan
kesehatan batin yang bepegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-sunnah dari pada
dari kesan lahiriahnya saja. Sebagaimana dalam perkataannya, “Duhai, saudara
ku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau
lihat (pada para sufi sezamannya)”.
3.
Penyimpangan Para Sufi
Dalam menulis risalahnya Al-Qusyairi menumpahkan
rasa sedihnya terhadap apa-apa yang menimpa ajaran tasawuf pada waktu itu. Pada
masanya mulainya terjadi perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah
ata dari segi-segi moral dan tingkah laku.
“kebayakan para sufi yang menempuh jalan
kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada. Dalam bekas mereke, tidak ada
yang tinggal dari kelompok tersebut, kecuali bekas-bekas mereka. Kemah itu
hanya serupa kemah mereka kaum wanitanya itu kulihat, bukan mereka”
Dalam pendapatnya tersebut memang memiliki kesan
yang terlalu berlebihan, akan tetapi beliau tak bermaksud untuk
menjelek-jelekan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri
pada penyimpangan sebagai penyerunya. Dari Risalahnya hanya sekedar bentuk
keluhan yterhadap dari ajaran tasawuf pada masanya.
Disini di tegaskan bahwa Al-Qusayairi dalam
Risalahnya menggunakan rujukan dari doktrin Ahlussunnaah
wal jama’ah, yanh mengikuti para sufi pada abad ke-tiga dan ke-empat hijriyah sebagaimana
yang sudah tertera dalam Ar-Risalah.
B. Imam
Al-Ghazali
Nama
lengkap beliau adala Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi
asy-Syafi’i, lahir di desa Thus Tabaran terdekat di timur laut Iran pada
tahun 450 H/1058 M. Secara singkat di
panggil dengan sebutan Al-Ghazali
atau Abu Hamid Al-Ghazali.
Kelahiran beliau serselng tiga tahun sebelum kaum Saljuk mengambil ahli
kekuasaan di Baghdad.
Ayah
dari Imam Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol yang sangat mencintai
ulama sehingga menginginkan anaknya menjadi sufi dan ahli hukum. Al-Ghazali dan
adiknya Ahmad menjadi yatim ketika masih muda, dan meninggalkan mereka sedikit
uang dalam perawatan seorang sufi. Dan ketika uang peninggalan ayahnya sedikit,
saat mereka terdaftar dalam sebuah madrasah.
Al-Ghazali
mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian beliau
mempelajari ilmu mantiq, ilmu kalam, ilmu fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawuf
dan retorika perdebatan kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/1086 M).
Dan pada waktu yang sama beliau juga mempelajari teori-teori Tasawuf kepada
Yusuf An-Nasaj, seehingga melakukan latihan dan praktik tasawuf tersebut.
Beliau
mendapatkan julukan “Bahr Mu’rriq”
( lutan yang menghanyutkan) oleh al-Juwaini karena kemahirannya dalam
memberikan jawaban dalam sanggahan-sanggahan pada penentang ilmu yang di
berikan oleh Al-Juwaini. Al-Ghazali dimintai oleh Perdana Mentri sat itu Nizam
Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamyah, Baghdad pada tahun
483 H/1090 M, pada usianya yang ke 30 tahun. Dan juga aktif dalam perdebatan
dengan golongan-golongan pada waktu itu. Namun dalam kegiatan itu beliau merasa
belum cukup dalam kepuasan batinya, sehingga memutuskan untuk melepaskan
jabatannya dan hijrah ke Syiria,Palestina, dan Mekah untuk mencari kebenaran.
hingga mendapatkan kebenaran tersebut hingga beliau meninggal pada tahun 505
H/1111 M.
Selama
masa hidupnya Imam Al-Ghazali membuat karangan hingga mencapai 300 buah. Dimana
diawal mengarangnya di umur 25 tahun. Yang setiap tahunnya ada 10 kitab kecil
atau besar yang sudah dikarannya yang meliputi ilmu filsafat, ilmu kalam,
fiqh-ushl fiqh, tafsir, tasawuf, dan akhlak.
Dan
berikut merupakan pengajaran Al-Ghazali dalam bidang tasawuf, Al-Ghazali lebih
cederung terhadap tasawuf sunni dengang berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah
dengan diikuti doktrin Ahlussunnaah wal
jama’ah. Bertentangan dengan paham sekte Isma’iliyyah, aliran Syi’ah,
Ikhwan Ash-Shafa dan lain-lainnya. Beliau menentang tentang pemahaman filsafat
dari Aristoteles yang bercoran emanasi dan penyatuan, dalam hal ini corak yang
di ambil Imam Al-ghazali adalah psiko-moral yang menghasilkan moral atau yang
bisa disebut tasawuf akhlaqi.
Al-Ghazali
juga kurang setuju dengan pandangan tasawuf dari Al-Halaj dan Abu Yazid
Al-Busthami. Beliau menolak paham hulul
dan ittihad, lalu keluarlah paham
baru tentang Makrifat, yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt (taqarrub ila Allah) tanpa adanya
penyatuan. Berpendapat bahwa menuju kemakrifatan adalah perpaduan ilmu dan
amal, yang menghasilkan moralitas. Makrifat yang dimaksud mlalui bentuk latihan
jiwa dengan pencapaian rohani dengan tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal).
Dengan itu beliau dapat disatukan dari tiga ilmu yaitu tasawuf, fiqh, dan
kalam. Yang sebelumnya terjadi ketegangan. Selain itu juga Al-Ghazali
menjadikan tasawuf dijadikan sarana untk mengolah rasa dan mengolah jiwa,
sehingga mencapai makrifat yang mampu menciptakan (sa’adah).
Dengan
karyanya yang sampai sekarang sangat berpengaruh bagi perkembangan tasawuf
adalah kitab Ihya Ulumudin yang telah
menjadi rujukan ilmu fiqh di seantero dunia dari zaman penulisnnya hingga
sekarang dan sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
C. Al-Harawi
Al-Harawi
mempunyai nama lengkap lengkap Abu Isma’il Abdullah bin Muhammad al-Ansari.lahir
pada tahun 396 H, di Heart, kawasan Khurasan. Seperti yang dikatakan Massignon,
dia adalah seorang faqih yag bermadzhab Hanbali. D`alam karya-karyanya
dipandang sangat berpengaruh pada abad ke-lima hijriyah dalam pemberuhuan
tasawuf, dimana menggunakan doktrin As-sunnah yang menentang ungkapan-ungkapan
dari Al-Hallaj dan Al-Bustami yang menyatakan penyatuan dengan tuhan.
Karya-karyanya
tentang Tasawuf diantaranya Manazil al-sa’irin illa rabb al-Alamin. Dimana
dalam karya ringkas ini beliau meguraikan tingkatan-tingkatan rohaniah para
sufi, yang menyatakan tingkatan dari para sufi mempunyai awal dan akhir.
Seperti katanya : “kebanyakan ulama keelompok ini sependapat bahwa tingkatan
akhir tidak dipandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal. Seperti
halnya dengan sebuah bangunan diman tifdaklah kokoh jika fondasinya juga tidak kokoh. Dan yang dimaksud tingkatan
awal ini adalah meengakkan rasa ikhlas terhadap keikutannya dengan As-sunnah.”
Dalam
kedudukannya sebagai sufi, Al-Hurawi tidak sependapat dengan sufi yang terkenal
dengan keanehan dalam pengucapannya, dengan pembicaraanya tentang maqam
ketenangan (sakinah) yang menimbulkan
rasa ridha. Perigkat ketiga dari sakinah adalah ketenangan yang timbul dari
rasa ridha atas bagian yang diterimannya menghindari dari pengucapan aneh yang
menyesatkan. Karena jika ketenangan tersebut telah bersemayam dalam maka kalbu
maka terhindarlah dari ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.
Kemudian
yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas tinkatan kedudukannya sebagai hamba.
Ditegaskan tidaklah melewati dari batas-batasnya sebagai hamba. Menurut Al-Harawi tidaklah sampai ketenangan tersebut
kecuali di kalbu para nabi atau wali.
D. Al-Hujwiri
Nama
lengkap dari Al-Hujwiri adalah Abu Hasan Ali bin Usman bin Al-Ghazali Al-Jullabi
Al-Hujwiri, lahir di Ghaznah, Persia (iran), pada abad ke 5 H/11 M. Yang
sekarang Ghaznah termasuk dalam wilayah Afganistan. Beliau meruapakan penulis
pertama dalam kitab sufi yang pertama kali ditulis dalam bahasa Persia. Judul
dari kitab tesebut adalah Kasyful Mahjub.
Tidaklah
banyak yang menulisakan biografinya kecuali dengan catatan dari kitabnya
sendiri Kasyful Mahjub. Dalam
pejalanan menuntut ilmunya beliau pernah menjadi murid dari Abu Abbas
Al-Syaqani, kemudian Abu Fadhl Muhammad bin Hasan Al-Khuttali dan Abu Al-Qasim
Al-Jurjani (wafat 1059) serta Khawaja Al-Muzaffar Ahmad bin Hamdan. Dan beliau
juga menuntut ilmu di Irak, Khurasan di Timur Tengah, Kurdistan dan Azarbaijan,
Jujar, Samarkhand, hingga Lahore di India. Dan menetap di Lahore selama empat
tahun.
Selama
di Lahore beliau menyebarkan Islam di India, penegakan syariat islam dan
meningkatkan pengetahuan kaum muslim. Namun pada tahun 432 H Hindu menyerang
Lahore dan Al-Hujwiri pun di tangkap sebagai tahanan tak lama kemudian di
bebaskan pasukan muslaim Ghaznanh dan pindah ke Ghaznah lalu ke khurasan. Tapi
tak lama dari itu kemudian beliau lembali ke Lahore hingga wafat pada 1073 M/
465 H.
Al-Hujwiri
memiliki pemikiran yang sangat luas, dimana beliau sering bertemu dengan
berbagai ulama dan intelektual dan tidak lupa dengan kerajinannya dalam membaca
berbagai macam literatur. Hingga beliau termasuk dalam ulama yang berpenaruh
dalam dunia tasawuf. Diantara sebab yang membuat Al-Hujwiri sangat berpengaruh
dalam dunia Tasawuf adalah hasil dari karya-karyanya. Bukunya Kasyful Mahjub menyatakan beberapa karyanya
yang lain berjumlah sepuluh diantaranya : Diwan Minhaj Al-Din, Al-Khiraq
al-Mulawwanat, Fana U Baqa dan yang lainnya. Namun ada dua kitabnya yang
dipinjam oleh orang lain namun tidak dikembalikan kembali, hingga
diterbitkannya karya tersebut (yang telah dipinjam) dengan nama pengarang yang
berbeda bukan dirinya. Hingga mengakibatkan beliau menyesal telah meminjamkan
kitab tersebut.
Dalam
kitab Kasyful Mahjub di mata para
pengamat memiliki beberapa kelebihan yang dimuat di dalamnya. Diantaranya
penguraian tajam tentang pembahasan aliran tasawuf yang berkembang pada waktu
itu, pengungkapan persoalan tasawuf yang bera pada waktu itu seperti makrifat
dan sebagainya. Dalam pembahasan beberapa aliran tasawuf yang mudah untuk
dipahami.
Sebagai
salah satu pengikut dari Ahlussunnaah wal
jama’ah, Al-Hujwiri dikenal sebagai ulama yang berusaha mendamaikan
tasawuf, fiqh, dan teologi. Beliau
menegaskan bahwa ada keterkaitan yang erat antara syariat dan hakekat,
menurutnya syariat tanpa hakekat tidak membuahkan apa-apa. Sedangkan hakekat
tanpa syarat, hanya membuahkan kemunafikan. Al-Hujwiri membagi orang-orang
tasawuf menjadi tiga golongan yaitu sufi,
Mutasawwin, dan Mutashwif. Sufi adalah orang yang sudah fana (lenyap) dari dirinya, baqa
(abadi) berasama Al-Haq, bebas dari gengamman tabiat dan mencapai hakekat dari
segala hakekat. Mutashawwin adalah
orang yang sedang berjuang keras untuk mencapai derajat sufi. Adapun Mutashwif adalah orang yang berpura-pura
seperti sufi tapi dengan kepentingan duniawi.
Dalam
pengambaran tokoh-tokoh sekilas yang berperan dalam pengajaran tasawuf pada
abad ke-lima, dapat dilihat beberapa karakteristik dari pengajaran tasawuf
tersebut. Disebut juga tasawuf pada abad ke-lima ini dengan Sunni atau akhlaki,
dan berikut merupakan karakteristik yang menonjol pada waktu itu :
1. Lebih utama berlandaskan pada konteks
Al-Qur’an dan Hadits, jadi selain dalam pembahasan ini tidaklah dibahas atau
dikaji. Namun jika ada yang memerlukan penafsiran maka hanya dilakukan dengan
sifatnya yang sekedar dan idak begitu mendalam.
2. Lebih
mengajarkan kepada pengajaran dualisme. Yang dimaksudkan dualisme dalam hal ini
ialah pengertian mengenai sifat tuhan dan manusia adalah dua hal yang berbeda.
Dan jika orang tersebut dapat
berhubungan dengan tuhannya, hanyalah sebatas dekat. Tidak menggunakan sistem
penyatuan dengan tuhannya.
3. Kesinambungan
antara hakikat dengan syari’at. Dalam pengertiannya keterkaitan antara tasawuf
sebagai aspek batiniyah dengan fiqh sebagai aspek lahirnya. Kaum sufi di kalang
sunni tetap memandang penting persoalan-persoalan lahiriyah formal, seperti
aturan-aturan yang dianut para fuqoha. Bahkan aturan-aturan tersebut di pandang
sebagai jembatan menuju tuhan.
4. Lebih
beronsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa
dengan cara riyadhah (latihan mental)
dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
Daftar Pustaka