Tuesday 7 November 2017

Pengertian Psikologi dan Tasawuf , Hubungan psikologi dan Tasawuf, Dimensi Psikologi Dalam Tasawuf

A.    Pendahuluan
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku atau karakter manusia. Tasawuf adalah membersihkan diri dengan menjalankan konsep tahali, takhali dan tajali yaitu dengan menghiasi diri dengan kebaikan, menjauhi larangan Allah SWT dan lebih meningkatkan keimanan serta lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Seorang sufi yang bersih hatinya dan menerapkan tiga konsep tersebut dalam kehidupan maka akan secara otomatis keadaan psikologisnya baik karena hidupnya sudah mengikuti ajaran tasawuf, yaitu ajaran yang diridhai Allah SWT. 
Psikologi ada korelasi atau hubungan dengan tasawuf yaitu psikologi dapat mempengaruhi tingkat keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah, seseorang yang secara psikologis baik dan tidak pernah berbuat kejelekan, maka akan lebih mudah menjalankan konsep tasawuf tahali, takhali dan tajali. Yaitu dengan menghiasi diri dengan kebaikan, menjauhi larangan Allah SWT dan lebih meningkatkan keimanan serta lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih rinci tentang pengertian psikologi dan tasawuf , hubungan psikologi dan tasawuf, dimensi psikologi dalam tasawuf.

B.     Pengertian Psikologi dan Tasawuf
a.       Pengertian Psikologi
Kata “psikologi” berasal dari kata Yunani psyche dan logos. Psyche berarti nafas, karena itu hidup (dikaitkan atau dicirikan dengan nafas), asas yang menghidupkan dalam diri manusia serta makhluk hidup lainnya, sumber segala aktifitas hidup, jiwa atau ruh atau asas yang menghidupkan dalam keseluruhan alam semesta, ruh dunia. Sedangkan logos berarti kata atau bentuk yang menampakkan asas itu. Dalam teologi, logos berarti firman Tuhan. Jadi psikologi mulanya berarti kata atau bentuk yang mengungkapkan asas kehidupan, jiwa atau ruh.
Menurut Frank J. Bruno pengertian psikologi terbagi menjadi tiga artian, yang pertama psikologi adalah studi (penyelidikan) mengenai ruh. Yang kedua psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental. Yang ketiga psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mengenai tingkah laku organisme.
Menurut Chaplin psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku manusia dan hewan, studi mengenai organisme dalam segala variasi dan kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan (sosial) yang merubah lingkungan.[1] 
b.      Pengertian Tasawuf
Istilah tasawuf berasal dari bahasa Arab dari kata ”tashowwafa– yatashowwafu-tashowwuf” mengandung makna  (menjadi) berbulu yang banyak, yakni menjadi seorang sufi atau menyerupainya dengan ciri khas pakaiannya terbuat dari bulu domba/wol (suuf), walaupun pada prakteknya tidak semua ahli sufi pakaiannya menggunakan wol. Menurut sebagian pendapat menyatakan bahwa para sufi diberi nama sufi karena kesucian (shafa) hati mereka dan kebersihan tindakan mereka. Di sisi yang lain menyebutkan bahwa seseorang disebut sufi karena mereka berada dibaris terdepan (shaff) di hadapan Allah, melalui pengangkatan keinginan mereka kepada-Nya. Bahkan ada juga yang mengambil dari istilahash-hab al-Shuffah, yaitu para shahabat Nabi SAW yang tinggal di kamar/serambi-serambi masjid (mereka meninggalkan dunia dan rumah mereka untuk berkonsentrasi beribadah dan dekat dengan Rasulullah SAW).
Pada intinya tasawuf merupakan suatu usaha dan upaya dalam rangka mensucikan diri (tazkiyatunnafs) dengan cara menjauhkan dari pengaruh kehidupan dunia yang meyebabkan lalai dari Allah SWT untuk kemudian memusatkan perhatiannya hanya ditujukan kepada Allah SWT. Menurut Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi bahwa tasawuf adalah ilmu yang menerangkan tentang keadaan-keadaan jiwa (nafs) yang dengannya diketahui hal-ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, jalan menuju Allah, dan meninggalkan (larangan-larangan) Allah menuju (perintahperintah) Allah SWT.[2]

C.    Hubungan Psikologi dan Tasawuf
Psikologi agama mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya dalam penelaahan kajian empiris. Dalam hubungan ini, ternyata agama terbukti mempunyai peranan penting dalam perawatan jiwa. Oleh karenanya metode yang digunakan dalam penelitian Ilmu Jiwa agama tidak berbeda dengan metode ilmiyah yang dipakai oleh cabang-cabang Ilmu Jiwa agama.
Ketika seseorang dalam prilaku kehidupan keberagamaannya baik dan sesuai dengan ketentuan nilai-nilai Ilahiyah, maka ada kemungkinan dalam tingkat spiritual keagamaannya tinggi. Inilah hasil dari implementasi dan aplikasi ke-tasawufannya. Dalam hal ini kejiwaan seseorang berpengaruh besar dalam kehidupan spiritual dan tingkah laku dalam pergaulannya. Berarti antara kesufian dan psikologi agama sangat berkaitan. Dan bukan hal yang tidak mungkin para sufi adalah pakar ilmu jiwa sekaligus dokter jiwa. Hubungan ini tentunya dalam implementasi ilmu jiwa yang dimaksud adalah sentuhan-sentuhan rohani keislaman.
Para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia yang mengarah dalam inti kehidupan manusia pada unsur spiritual atau kejiwaannya. Dalam pandangan sufi juga disebutkan, bahwa akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsunafsu hewani atau nabati, maka yang akan tampil dalam prilakunya adalah prilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, maka yang akan tampil dalam prilakunya adalah prilaku insani.
Memang harus diakui, jiwa manusia terkadang sakit. Dalam hal ini, seseorang tidak akan sehat jiwanya secara sempurna kalau tidak melakukan perjalanan menuju Allah dengan benar. Jiwa manusia juga membutuhkan prilaku (moral) yang luhur sebab kebahagiaan tidak akan dapat diraih tanpa akhlak yang luhur, juga tidak dapat memilikinya tanpa melakukan perjalanan menuju Allah. Dalam kaitan ini berarti sangat diperlukan latihan-latihan kejiwaan dalam bentuk riyadhoh dan mujahadah menuju spiritual yang maksimal.
Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa seseorang yang dekat dengan Tuhannya maka dia akan mendapatkan ketenangan dan ketentraman. Sehingga akan berpengaruh pada sikap dan tindaktanduknya dalam kehidupan. Prilaku kehidupan keagamaan seseorang itu dipengaruhi dari jiwanya yang mengarah pada kebaikan atau keburukan. Dengan demikian sangat jelaslah keterkaitan tasawuf dengan psikologi agama (Ilmu Jiwa Agama).[3]

D.    Dimensi Psikologi Dalam Tasawuf
Dimensi psikologi dalam tasawuf tebagi menjadi tiga dimensi, yang pertama dimensi penalaran yaitu menerangkan berbagai gejala perilaku manusia, corak relasi, dan kehidupannya. Nalar manusia yang paham tentang ajaran tasawuf maka secara psikologi baik karena ia akan selalu berbuat kebaikan dan takut berbuat keburukan. Yang kedua dimensi pengendalian yaitu dimensi yang meningkatkan kesejahteraan mental dan kehidupan manusia, serta mencegah praktik yang tidak benar dan efek negatif dari psikologi itu sendiri dan ilmu lainnya. Seorang sufi juga secara otomatis mampu mengendalikan diri agar hidupnya selalu taat terhadap aturan sehingga hidupnya akan tertata. Yang ketiga dimensi peramalan yaitu dimensi yang membuat pikiran tentang pola perilaku manusia dalam berbagai situasi dan akibat-akibatnya pada masa depan berdasarkan data yang akurat. Seorang sufi akan mampu meramalkan dampak apa yang akan terjadi atas perbuatan yang telah dilakukannya tersebut, minimal ia mampu memnimalisir dampak buruk dari suatu kejadian buruk yang dialaminya.
Dimensi psikologi dalam tasawuf juga berfungsi mengembangkan kesehatan mental manusia dan menata perilaku berguna yang dikenal dengan istilah keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Kesehatan mental dan kualitas keberagamaan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Mental yang sehat mempengaruhi kualitas keberagamaan, dan kualitas keberagamaan mempengaruhi kesehatan mental.
Dapat disimpulkan bahwa dimensi psikologi dapat mempengaruhi tingkat keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah, seseorang yang secara psikologis baik dan tidak pernah berbuat kejelekan, maka akan lebih mudah menjalankan konsep tasawuf tahali, takhali dan tajali. Yaitu dengan menghiasi diri dengan kebaikan, menjauhi larangan Allah SWT dan lebih meningkatkan keimanan serta lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Seorang sufi yang bersih hatinya dan menerapkan tiga konsep tersebut dalam kehidupan maka akan secara otomatis keadaan psikologisnya baik karena hidupnya sudah mengikuti ajaran tasawuf, yaitu ajaran yang diridhai Allah SWT.[4]
  
E.     Kesimpulan
Psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku manusia dan hewan, studi mengenai organisme dalam segala variasi dan kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan (sosial) yang merubah lingkungan.
Tasawuf Adalah suatu usaha dan upaya dalam rangka mensucikan diri (tazkiyatunnafs) dengan cara menjauhkan dari pengaruh kehidupan dunia yang meyebabkan lalai dari Allah SWT untuk kemudian memusatkan perhatiannya hanya ditujukan kepada Allah SWT.
Hubungan Psikologi dengan Tasawuf adalah psikologi dapat mempengaruhi tingkat keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah, seseorang yang secara psikologis baik dan tidak pernah berbuat kejelekan, maka akan lebih mudah menjalankan konsep tasawuf tahali, takhali dan tajali. Yaitu dengan menghiasi diri dengan kebaikan, menjauhi larangan Allah SWT dan lebih meningkatkan keimanan serta lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dimensi Psikologi dalam Tasawuf terbagi menjadi tiga yaitu dimensi penalaran, dimensi pengendalian, peramalan. Dimensi ini menjelaskan tentang penalaran manusia yang harus bisa melatih dan mengendalikan diri agar selalu berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk, selain itu juga harus mampu meramalkan apakah perbuatan kita akan berdampak buruk kedepannya atau tidak.

F.    DAFTAR PUSTAKA
Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, Psikologi Kenabian, Yogyakarta: Fajar Media Press, 2010.
Badrudin, Akhlak Tasawuf, Serang: IAIB Press, 2015.
Abdulkarim Utsman, Al-Dirasait Al-Nafsiyyah Ind Al-Muslimin, Maktabah Wahbah 1401 H.



[1] Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, Psikologi Kenabian, Yogyakarta: Fajar Media Press, 2010, H 25
[2] Badrudin, Akhlak Tasawuf, Serang: IAIB Press, 2015, H 57-58
[3] Ibid H 88-89
[4] Abdulkarim Utsman, Al-Dirasait Al-Nafsiyyah Ind Al-Muslimin, H 22
Read More

Sunday 29 October 2017

Makalah Madzhab (Pengertian Madzhab, Sebab Kemunculan Madzhab, Sejarah Empat Madzhab, Hikmah dan Tujuan Mempelajari Madzhab)

A.    PENDAHUUAN
Islam pada masa Rasulullah SAW masih hidup apabila terdapat kekurangan paham terhadap suatu hukum, para sahabat langsung menanyakan kepada Rasulullah SAW, sehingga bisa cepat terselesaikan. Kemudian sepeninggalan Rasulullah SAW, para sahabat menggunakan pengalaman yang diperoleh dari perkataan, perbuatan dan kebiasaan beliau ketika masih hidup. Ketika sampai kepada masa tahap ini mereka berpegang kepada Al-Qur’an, As Sunnah dan kepada perkataan sahabat. Seiring perkembangan jaman persoalan semakin bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu, sementara tidak seluruhnya solusi permasalahan ditemukan dalam Al-Quran, As Sunnah maupun perkataan sahabat. Sehingga dilakukan jalan ijtihad sendiri, termasuk melakukan qiyas (analogi) sebagai syara’ (hukum Islam). Sehingga seiring perkembangan waktu pun banyak terjadi perbedaan madzhab. Madzhab adalah cara yang ditempuh atau jalan yang diikuti. Embriio dari perbedaanm adzhab ini adalah karena terjadi perbedaan cara pandang dan analisis terhadap nash (teks), walaupun semua mempunyai dasar yang sama yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah. Namun perbedaan tersebut dianggap wajar oleh para ulama fiqih. Karena berbagai faktor yang mempengaruhinya, diantaranya faktor intuisi, interaksi sosial budaya dan faktor adaptasi perkembangan jaman.
Dalam makalah ini akan membahas tentang apa yang dimaksud madzhab, sebab munculnya madzhab, sejarah empat madzhab, tujuan mempelajari perbandingan madzhab.

B.     PENGERTIAN MADZHAB
       Madzhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
       Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.[1]

C.    SEBAB MUNCULNYA MADZHAB
            Penyebab munculnya madzhab yaitu :
1.      Telah meninggalnya Rasulullah SAW dan banyak perbedaan argumentasi mengenai penyelesaian masalah-masalah baru.
2.      Meluasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah di Semenanjung Arab, Irak, Mesir, Syam, Persia, dan lain-lain.
3.      Pergaulan bangsa Muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya, mereka berbaur dengan budaya, adat-istiadat, serta tradisi bangsa tersebut.
4.      Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan dari pemerintahan Islam, membuat para Gubernur, Qadi (hakim) dan para Ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap permasalahan dan masalah-masalah baru yang dihadapi.


D.       SEJARAH SINGKAT EMPAT MADZHAB
1.      Imam Hanafi
    Imam Hanafi adalah seorang imam yang agung, yang memiliki nama lengkap Abu Hanifah An-Nu’man Bin Tsabit Bin Zuutha At-Taimiy Al-Kufiy. Beliau lahir di kota Kuffah pada tahun 80H/699M dan beliau wafat di Baghdad pada tahun 150H/767M. Beliau di gelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak kecil. Gelar ini merupakan berkah do’a dari doa Ali bin Abi Thalib yang mendoakan bahwa kelak keturunan Tsabit akan menjadi orang yang utama di zamanya. Terbukti dengan lahirnya Imam Hanafi. Beliau memperdalam ilmunya dalam belajar Al-Qur’an, aktif mempelajari ilmu fiqh, dan mempelajari hadits. Imam Hanafi dikenal sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik akan jabatan rezmi kenegaraan. Imam Hanafi meinggal saat umur 70 tahun yang bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i. Dan dimakamkan dipemakaman Khirza. Didirikanlah sekolah yang diberi nama Jami’ Abu Hanifah.

2.      Imam Malik
    Imam Malik mempunyai nama lengkap Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amar ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Ashabi al-Madani. Lahir pada 93H. Sebagai tokoh madzhab Maliki. Madzhab ini terkenal sebagai madrasah Ahlul-Hadist. Imam Malik sudah hafal Al-Qur’an dalam usia yang sangat dini, beliau juga menyusun beberapa kitab, kitab yang terkenal adalah kitab Al-Muwatha. Imam Malik mempelajari fiqih, teori-teori kajian hukum dan mempelajari hadis-hadis Nabi. Salah satu dalil hukum yang sering digunakan oleh Imam Malik adalah ijma ulama Madinah. Imam Malik lebih mengutamakan ajma dan amal Madinah daripada qiyah, khabar ahad, dan qaul sahabat.

3.      Imam Syafi’i
    Beliau bernama Muhammad bin Idris al-Syafi’i gelar beliau abu abdillah. Beliau dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Imam Syafi’i adalah orang yang cakap rupa parasnya. Dalam riwayat hidupnya Imam Syafi’i adalah ulama besar yang mampu mendalami serta menggabungkan antara metode ijtihad Imam Malik dan Abu Hanifah, beliau sangat hati-hati dalam berfatwa. Pada masa sekarang ini,  madzhab Asy-Syafi’i berkembang di Palestina, Yodania, Libanon, Syiria, Irak, Pakistan, India, Indonesia, Persia, dan Yaman yang sunni. Sekitar 100 juta umat Islam menganut madzhab Asy-Syafi’i.

4.      Imam Ahmad Ibn Hanbal
    Nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hilal bin Usd bin Idris bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syalban. Lahir pada 164 H. Beliau adalah seorang zuhud, bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan, berwawasan luas, sangat dalam pemahamannya terhadap ruh syariat. Beliau menguasai seluruh ilmu. Dalam pesantrennya, setiap selesai sholat ashar, beliau membiasakan memberi fatwa dan bersama para peserta pesantrennya menyebutkan diri dengan apa yang dilakukan oleh para ulama salaf dalam pesantren mereka, yaitu pengkajian Al-Qur’an dan tafsirnya. Beliau wafat pada 241 H.[2]


E.       TUJUAN MEMPELAJARI PERBANDINGAN MADZHAB
          Adapun tujuan mempelajari perbandingan madzhab yaitu :
1.      Untuk menimbulkan rasa saling menghormati atau toleransi (tasamuh) dengan yang berbeda pendapat. Ini menandakan bahwa Islam menghargai kebebasan menyatakan pendapat. Pendapat yang muncul bukan dijadikan sebagai ajang permusuhan atau perselisihan, tetapi sebagai tawaran alternatif untuk memberikan kemudahan dalam menyelesaikan persoalan dan realita hidup.
2.      Dapat mendekatkan berbagai Mazhab disatu pihak, sehingga perpecahan umat dapat disatukan kembali ataupun jurang perbedaan dapat diperkecil sehingga terjalin persaudaraan islam.
3.      Memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa perbedaan adalah sunnatullah yang tak bisa dihindari dimanapun ia berada.
4.      Dapat menimbulkan rasa puas dalam mengamalkan suatu hukum sebagai hasil dari berbagai pendapat imam Mazhab.
5.      Dapat menenteramkan jiwa karena membandingkan adalah jalan yang mudah untuk mengetahui cara-cara para Imam dalam menentukan hukum.

F.     KESIMPULAN
Madzhab menurut istilah adalah jalan yang dilalui dan dilewati. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
Penyebab munculnya madzhab yaitu : Telah meninggalnya Rasulullah SAW, Meluasnya daerah kekuasaan Islam, Pergaulan bangsa Muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya, Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan dari pemerintahan Islam.
Tokoh madzhab yang terkenal ada 4 yaitu Imam Hambali (80-150 H), Imam Malik (93-179 H), Imam Syafi’i (150-204 H), Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H).
Tujuan mempelajari perbandingan madzhab yaitu : Untuk menimbulkan rasa saling menghormati atau toleransi (tasamuh) dengan yang berbeda pendapat, Dapat mendekatkan berbagai Mazhab disatu pihak, Memberikan kesadaran kepada masyarakat, Dapat menimbulkan rasa puas dalam mengamalkan suatu hukum sebagai hasil dari berbagai pendapat imam Mazhab, Dapat menenteramkan jiwa.

G.    HIKMAH
Hikmah Mempelajari Perbandingan madzhab adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui   pendapat-pendapat   para   imam   mazhab   (para   imam mujtahid) dalam berbagai masalah yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau alasan-alasan yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat dancara-cara istinbath hukum dari dalilnya oleh mereka. Dengan mempelajari dalil-dalil   yang   digunakan   oleh   para   Imam   Mazhab   tersebut dalam menetapkan hukum, orang yang melakukan study Perbandingan Mazhab akanmendapat keuntungan ilmu pengetahuan secara sadar dan menyakinkan akanajaran agamanya.
2.      Mengetahui dasar-dasar dan qaidah-qaidah yang digunakan oleh imammazhab dalam menginstinbatkan hukum dari dalil-dalilnya. Dimana setiapimam mujtahid tersebut tidak menyimpang dan tidak keluar dari dalil-dalil al-Qur’an atau sunnah.
Dengan memperhatikan landasan berfikir para Imam Mazhab, orang yang melakukan studi Perbandingan Mazhab dapat mengetahui bahwa dasar-dasar mereka pada hakikatnya tidak keluar dari al-Qur’an dan sunnah. Atau mereka mengambil Qiyas Mashlahah Mursalah atau Istishab.

H.    DAFTAR PUSTAKA
·         Haidir Abdullah. Mazhab fiqh. King Fahd National Cataloging-In-Publication Data. 2004.
·         Farih Amir. Rekontruksi Fikih Dalam Lintas Sejarah. Semarang: CV Karya Abadi Jaya. 2015).
·         Azizy A Qodri. Reformasi Bermazhab. Jakarta: Teraju. 2003.





[1] Abdullah Haidir, Mazhab fiqh, (King Fahd National Cataloging-In-Publication Data: 2004) Hlm. 11-12
[2] Amir Farih, Rekontruksi Fikih Dalam Lintas Sejarah, (Semarang: CV Karya Abadi Jaya: 2015) Hlm. 130-170
Read More

Jurnal Tokoh Sufi Abad V dan Gerakan Pembaharuan Tasawuf

TOKOH SUFI ABAD V DAN GERAKAN PEMBAHARUAN TASAWUF
Mulyandari (1604046011/08)
Email: (+6285713334884)
Universitas Islam Negeri Semarang, Indonesia
Moh. Sholeh Afif (1604046012/09)
Email: Sholehafif34@gmail.com (+6282314384161)
Universitas Islam Negeri Semarang, Indonesia
Abstract: In the fifth century Hijriyah experienced a lot of renewal. Previously it was known that the fourth and third centuries in the teachings of Sufism mepunyai two Sufi groups. The first moderate group, based on the Qur'an and As-Sunnah. And the second group that embraces the mortal law (ie one with the god) and anti social. This anti-social attitude that led to Islamic civilization is more backward with Western Civilization. Until the birth of Sunni tasawuf based on the Qur'an and Sunnah in the days of Companions Rosullah Saw. Spearheaded by imam Al-Ghazali. And famous figures at that time, namely Al-Qusyairi and Al-Harawi. And Al-Hujwiri is famous for his thoughts on Sufism embodied in his works.
Keywords: Tasawuf, Islam, Al-Ghazali, Rasulullah, Sufi

Abstrak : Pada abad ke-lima Hijriyah yang banyak mengalami pembaharuan. Sebelumnya sudah diketahui bahwa abad ke-empat dan ke-tiga yang dalam ajaran tasawufnya mepunyai dua kelompok sufi. Pertama golongan moderat, yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah. Dan golongan keduan yang menganut hukum fana (yaitu menyatu dengan tuhan) dan anti sosial. Sikap anti sosial ini yang mengakibatkan peradaban Islam lebih terbelakang dengan Peradaban Barat. Hingga lahirlah tasawuf sunni yang berlandaskan Al-Qur’an dan sunnah pada zaman sahabat Rosullah Saw. Yang dipelopori oleh imam Al-Ghazali. Dan tokoh-tokoh yang terkenal pada waktu itu, yaitu Al-Qusyairi dan dan Al-Harawi. Dan Al- Hujwiri yang terkenal akan pemikirannhya tentang tasawuf yang tertuang dalam karya-karyanya.
Kata-kata kunci: Tasawuf, Islam, Al-Ghazali, Rasulullah, Sufi

Pendahuluan :
Dulu dalam pembahasan tasawuf hanya sebatas cara agar mendekatkan diri kepada Allah Swt, dan ini dikenal sejak abad ke-satu dan ke-dua yang banyk dikenal dengan ajaran zuhud dan fase esketisme. Pada fase ini orang-orang yang melakukan ajaran tasawuh hanya puas dengan melakukan ibadah saja. Merek tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.
Semakin berkembang ajaran dari tasawuf hingga sampai pada abad ke-tiga para sufi mulai menaruh perhatian pada hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, hingga menghasilkan sebuah ajaran tasawuf yang mengkaji moral dan metafisika. Dimana dalam hal ini metafisika berarti hal yang berupa hal hakiki.
Dan pada perkembangannya abad ke-empat dimana corak dari ajaran tasawuf lebih cenderung kearah filsafat hingga munculnya tarekat, hakekat, dan makrifat. Dimana banyak ajaran tasawuf yang menyimpang dari semestinya, dan abad ke-lima munculah tokoh-tokoh sufi yang mengembalikan ajaran tasawuf pada dasar Al-Qur’an dan As-sunnah.
Pembahasan :
Dalam perkembangan tasawuf abad ke-lima sendiri dipengaruhi oleh perkembangan sebelumnya. Dimana pada saat kematian al-Hallaj di atas tiang kayu menimbulkan kesan yang tidak baik terhadap pandadangan tasawuf  waktu itu.[1] Setelah beliau menjalani hukum mati pada tahun 922 M. Tahun-bertahun bertambahlah perbedan antara pandangan ilmu fiqih dengan tasawuh hingga puncaknya pada abad ke-lima yang membahas permasalahan mtafisika yang tinggi. Pada waktu itu terkenal tujuan dari tasawuf yaitu mencapai kebahagian jiwa dengan mencari tuhan.
Abad ke-empat berkembang tiga ilmu dalam Islam, yaitu ilmu tasawuf, ilmu kalam, dan ilmu fiqih. Dan berkembanglah pada waktu itu Madzhab Isma’illyah suatu Mazdhab yang mengembangkan ideologi mengagungkan keturunan Ali bin Abi Thalib dan mengangkatnya ke atas singgah sana kerajaan. Dalam Madzhab ini terkenal akan ajaranya yang keras dalam kaum syi’ah.  Yang dipercayai bahwa adanya 12 imam ghaib yang mendiami suatu  bukit bernama Ridwan, yang di tunggu kehadirannya. Kepercayaan tersebut memiliki pengertian sama dengan kaum sufi yang meyakini adanya “wali-ullah” sebagai kekasih Allah Swt.
Pada waktu itu ada beberapa sufi yang menjalankan ajaran tasawuf yang dalam upaya membangun mental-spiritual mendekatkan diri kepada Allah Swt, bahkan pula untuk menyatukan dirinya dengan sang pencipta. Dalam pengajaran ini menggunakan pengasingan diri yang lebih cenderung mempunyai kesan anti sosial. Dan abad ke-tiga dan ke-empat munculah dua kelompok dalam pengajaran tasawuf. Golongan pertama adalah orang yang memiliki paham moderat, yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Yang menganut pentingnya akan moralitas. Sedangkan golongan yang kedua lebih cenderung ke arah yang menjauhkan diri dari segala hiruk-piruk akan kehidupan sosial dan anti sosial. Menekan ke arah kefana-an (menghilang dengan tuhan). Dengan sifat anti sosial tersebut yang menghambat atau menolak sama sekali dari pembaharuan yang ada dan tidak mengikuti perkembangan yang ada, sehingga pada waktu itu perkembangan Islam mengalami kemunduran dan di dahului oleh perkembangan Barat.
Melihat beberapa pristiwa tersebut akhirnya timbulah kesadaran akan pengajaran tasawuf yang kurang tepat, sehingga pada abad ke-lima lahirlah tasawuf sunni yang penyandarannya pada Al-qur’an dan As-sunnah. Dinamakan sunni karena tasawuf ini di dasarkan kepada Sunnah Rosulullah dan para sahabat. Lalu munculah imam al-Ghazali pelopor dari ajaran ini. Imam al-Ghazali hanya meneriman tasawuf bedasar pada Al-Qur’an dan As-sunnah serta bertujuan sektisme (zuhud), kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang kajian tasawuf yang mendalam. Disisi lain, beiau juga melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum muktazilah dan batiniyah. Al-Ghazali berhasil menggunakan prinsip-prinsip tasawuf moderat, yang seiring dengan aliran Ahlussunnaah wal jama’ah yang bertentangan dengan prinsip Al-Hallaj dan Al-Bustami, terutama tentang karakter manusia.[2]
Tokoh lainnya yang sangat berpengaruh dalam perkembangan tasawuf pada abad ke-lima adalah Al-Qusyairi yang dengan bukunya yang bejudul Ar-Risalah Al-Qursyairi yang mengembalikan pemahaman tasawuf ke Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau menentang tentang ajaran yang mengajarkan syathahat, yang memadukan antra sifat-sifat tuhannya yang terdahulu dengan sifat-sifat manusia yang baru.
Abu Isma’il Al-Anshari, yang lebih dikenal dengan Al-Harawi. Sama dengan Al-Qusayari beliau juga berlandaskan kepada Ahlussunnah wal Jama’ah dan bahkan beliau dikenal sebagai pengasas pembaheuan dalam tasawuf dan menentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapan seperti Albustami dan Al-Hallaj.
Dan Al-Hujwiri sang pengarang dalam kitab Kasyful Mahjub yang menyajikan keterangan metode tasawuf, keterangan yang secara terperinci tentang para pengamal tarekat, serta biografi lengkap dari Al-Hallaj. Dalam buku beliau ini yang sangat membantu, karena di dalamnya secara terperinci menguraikan dua belas aliran tasawuf yang berkembang pada saat itu. Mengungkapkan beberapa persoalan yang sulit dan berat seperti makrifat dan sebagainya. Bukan hanya kitab Kasyful Mahjub masih banyak kitab-kitab beliau yang lannya.
Berikut merupakan biografi singkat dan ajaran tasawuf yang digunakan beberapa tokoh yang berpengaruh pada abad ke-lima hijriyah :
A.     Al-Qusayari

Nama lengkap dari Al-Qusayari adalah Abdul Karim bin Hawazin. Lahir tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat pengetahuan pada masanya.[3] Begitu pula dengan bertemunya Al-Qusayairi dengan gurunya Abu ‘Ali Ad-Daqqaq. Dan dari guru tersebut beliau belajar Tasawuf. Gurunya juga menganjurkan Al-Qusayairi untuk belajar syariat terlebih dahulu sehingga beliau pun bertemu dengan Abu Bakar bin Farauk (wafat tahun 406 H) yang seorang faqih untuk belajar ilmu fiqh. Selain itu Al-Qusayairi juga belajar kepada Abu Ishaq Al-Isfarayini (wafat tahun 418 H) yang banya menelaah karya dari Al-Baqillani, dan dari situlah Al-Qusyairi dapat mengusai doktrin dari Ahlussunnaah wal jama’ah  yang di kembangkan oleh Al-Asy’ari. Al-Qusayari berpegang pada doktrinya Ahlussunnaah wal jama’ah yang kuat hingga dengan beraninya beliau menentang ajaran Muktazilah, Mujassamah, Syi’ah, dan Karamiyah. Nemun dalam usaha beliau juga mendapatkan perlawanan yang sengit, dan akhirnya di penjara selama sebulan atas perintah Tughul Bek karena hasutan dari mentrinya yang menganut aliran Muktazilah rafidhah. Nama mentri tersebut adalah Amid al-Mulk al-Kunduri, dengan hasutan tersebut akhirnya Al-Qusayairi di penjara dan perjalannya selama itu diabadikan dalam karyanya yang berjudul Syikayah Ahl As-sunnah. Menurut Ibnu Khalikan, Al-Qusayairi adalah yang mampu mengompromikan syariat dengan hakikat.[4]

Berikut merupakan beberapa ajaran-ajaran tasawuf yang dibawakan Al-Qusayairi :

1.       Mengembalikan ajaran tasawuf ke landasan Ahlussunnah

Dalam karya Al-Qusayairi yang berjudul ar-Risalah al-Qusayairiyah jika dikaji lebih dalam tetang karya tersebut, pengembalian doktrin tasawuf kepada ahlus Sunnah sangatlah jelas. Dan dalam karya tersebut pula Al-Qusayairi secara implisit terkandung penolakan terhadap sufi syathahi, yaitu ajaran yang mencampurkan sifat-sifat ketuhanan dengan dengan sifat baharu-nya (makhluknya).

2.       Kesehatan Batin

Dalam hal ini Al-Qusayairi sangat prihatin terhadap para sufi pada masa-nya, dimana para sufi tersebut sangat senangnya menggunakan pakaian orang-orang miskin akan tetapi sayangnya tidak di barengi dalam tindakannya. Maka dalam hal ini ditekankan bahwa lebih penting untuk mementingkan kesehatan batin yang bepegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-sunnah dari pada dari kesan lahiriahnya saja. Sebagaimana dalam perkataannya, “Duhai, saudara ku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada para sufi sezamannya)”.

3.       Penyimpangan Para Sufi
Dalam menulis risalahnya Al-Qusyairi menumpahkan rasa sedihnya terhadap apa-apa yang menimpa ajaran tasawuf pada waktu itu. Pada masanya mulainya terjadi perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah ata dari segi-segi moral dan tingkah laku.

“kebayakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada. Dalam bekas mereke, tidak ada yang tinggal dari kelompok tersebut, kecuali bekas-bekas mereka. Kemah itu hanya serupa kemah mereka kaum wanitanya itu kulihat, bukan mereka”[5]

Dalam pendapatnya tersebut memang memiliki kesan yang terlalu berlebihan, akan tetapi beliau tak bermaksud untuk menjelek-jelekan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagai penyerunya. Dari Risalahnya hanya sekedar bentuk keluhan yterhadap dari ajaran tasawuf pada masanya.

Disini di tegaskan bahwa Al-Qusayairi dalam Risalahnya menggunakan rujukan dari doktrin Ahlussunnaah wal jama’ah, yanh mengikuti para sufi pada abad  ke-tiga dan ke-empat hijriyah sebagaimana yang sudah tertera dalam Ar-Risalah.

B.      Imam Al-Ghazali

Nama lengkap beliau adala Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i, lahir di desa Thus Tabaran terdekat di timur laut Iran pada tahun  450 H/1058 M. Secara singkat di panggil dengan sebutan Al-Ghazali[6] atau Abu Hamid Al-Ghazali[7]. Kelahiran beliau serselng tiga tahun sebelum kaum Saljuk mengambil ahli kekuasaan di Baghdad.

Ayah dari Imam Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol yang sangat mencintai ulama sehingga menginginkan anaknya menjadi sufi dan ahli hukum. Al-Ghazali dan adiknya Ahmad menjadi yatim ketika masih muda, dan meninggalkan mereka sedikit uang dalam perawatan seorang sufi. Dan ketika uang peninggalan ayahnya sedikit, saat mereka terdaftar dalam sebuah madrasah.

Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian beliau mempelajari ilmu mantiq, ilmu kalam, ilmu fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/1086 M). Dan pada waktu yang sama beliau juga mempelajari teori-teori Tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj, seehingga melakukan latihan dan praktik tasawuf tersebut.

Beliau mendapatkan julukan “Bahr Mu’rriq”[8] ( lutan yang menghanyutkan) oleh al-Juwaini karena kemahirannya dalam memberikan jawaban dalam sanggahan-sanggahan pada penentang ilmu yang di berikan oleh Al-Juwaini. Al-Ghazali dimintai oleh Perdana Mentri sat itu Nizam Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamyah, Baghdad pada tahun 483 H/1090 M, pada usianya yang ke 30 tahun. Dan juga aktif dalam perdebatan dengan golongan-golongan pada waktu itu. Namun dalam kegiatan itu beliau merasa belum cukup dalam kepuasan batinya, sehingga memutuskan untuk melepaskan jabatannya dan hijrah ke Syiria,Palestina, dan Mekah untuk mencari kebenaran. hingga mendapatkan kebenaran tersebut hingga beliau meninggal pada tahun 505 H/1111 M.

Selama masa hidupnya Imam Al-Ghazali membuat karangan hingga mencapai 300 buah. Dimana diawal mengarangnya di umur 25 tahun. Yang setiap tahunnya ada 10 kitab kecil atau besar yang sudah dikarannya yang meliputi ilmu filsafat, ilmu kalam, fiqh-ushl fiqh, tafsir, tasawuf, dan akhlak.[9]

Dan berikut merupakan pengajaran Al-Ghazali dalam bidang tasawuf, Al-Ghazali lebih cederung terhadap tasawuf sunni dengang berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah dengan diikuti doktrin Ahlussunnaah wal jama’ah. Bertentangan dengan paham sekte Isma’iliyyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa dan lain-lainnya. Beliau menentang tentang pemahaman filsafat dari Aristoteles yang bercoran emanasi dan penyatuan, dalam hal ini corak yang di ambil Imam Al-ghazali adalah psiko-moral yang menghasilkan moral atau yang bisa disebut tasawuf akhlaqi.

Al-Ghazali juga kurang setuju dengan pandangan tasawuf dari Al-Halaj dan Abu Yazid Al-Busthami. Beliau menolak paham hulul dan ittihad, lalu keluarlah paham baru tentang Makrifat, yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt (taqarrub ila Allah) tanpa adanya penyatuan. Berpendapat bahwa menuju kemakrifatan adalah perpaduan ilmu dan amal, yang menghasilkan moralitas. Makrifat yang dimaksud mlalui bentuk latihan jiwa dengan pencapaian rohani dengan tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Dengan itu beliau dapat disatukan dari tiga ilmu yaitu tasawuf, fiqh, dan kalam. Yang sebelumnya terjadi ketegangan. Selain itu juga Al-Ghazali menjadikan tasawuf dijadikan sarana untk mengolah rasa dan mengolah jiwa, sehingga mencapai makrifat yang mampu menciptakan (sa’adah).

Dengan karyanya yang sampai sekarang sangat berpengaruh bagi perkembangan tasawuf adalah kitab Ihya Ulumudin yang telah menjadi rujukan ilmu fiqh di seantero dunia dari zaman penulisnnya hingga sekarang dan sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa.

C.     Al-Harawi

Al-Harawi mempunyai nama lengkap lengkap Abu Isma’il Abdullah bin Muhammad al-Ansari.lahir pada tahun 396 H, di Heart, kawasan Khurasan. Seperti yang dikatakan Massignon, dia adalah seorang faqih yag bermadzhab Hanbali. D`alam karya-karyanya dipandang sangat berpengaruh pada abad ke-lima hijriyah dalam pemberuhuan tasawuf, dimana menggunakan doktrin As-sunnah yang menentang ungkapan-ungkapan dari Al-Hallaj dan Al-Bustami yang menyatakan penyatuan dengan tuhan.

Karya-karyanya tentang Tasawuf diantaranya Manazil al-sa’irin illa rabb al-Alamin. Dimana dalam karya ringkas ini beliau meguraikan tingkatan-tingkatan rohaniah para sufi, yang menyatakan tingkatan dari para sufi mempunyai awal dan akhir. Seperti katanya : “kebanyakan ulama keelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal. Seperti halnya dengan sebuah bangunan diman tifdaklah kokoh jika fondasinya  juga tidak kokoh. Dan yang dimaksud tingkatan awal ini adalah meengakkan rasa ikhlas terhadap keikutannya dengan As-sunnah.”

Dalam kedudukannya sebagai sufi, Al-Hurawi tidak sependapat dengan sufi yang terkenal dengan keanehan dalam pengucapannya, dengan pembicaraanya tentang maqam ketenangan (sakinah) yang menimbulkan rasa ridha. Perigkat ketiga dari sakinah adalah ketenangan yang timbul dari rasa ridha atas bagian yang diterimannya menghindari dari pengucapan aneh yang menyesatkan. Karena jika ketenangan tersebut telah bersemayam dalam maka kalbu maka terhindarlah dari ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.

Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi  pada batas tinkatan kedudukannya sebagai hamba. Ditegaskan tidaklah melewati dari batas-batasnya sebagai hamba. Menurut  Al-Harawi tidaklah sampai ketenangan tersebut kecuali di kalbu para nabi atau wali.

D.    Al-Hujwiri

Nama lengkap dari Al-Hujwiri adalah Abu Hasan Ali bin Usman bin Al-Ghazali Al-Jullabi Al-Hujwiri, lahir di Ghaznah, Persia (iran), pada abad ke 5 H/11 M. Yang sekarang Ghaznah termasuk dalam wilayah Afganistan. Beliau meruapakan penulis pertama dalam kitab sufi yang pertama kali ditulis dalam bahasa Persia. Judul dari kitab tesebut adalah Kasyful Mahjub.

Tidaklah banyak yang menulisakan biografinya kecuali dengan catatan dari kitabnya sendiri Kasyful Mahjub. Dalam pejalanan menuntut ilmunya beliau pernah menjadi murid dari Abu Abbas Al-Syaqani, kemudian Abu Fadhl Muhammad bin Hasan Al-Khuttali dan Abu Al-Qasim Al-Jurjani (wafat 1059) serta Khawaja Al-Muzaffar Ahmad bin Hamdan. Dan beliau juga menuntut ilmu di Irak, Khurasan di Timur Tengah, Kurdistan dan Azarbaijan, Jujar, Samarkhand, hingga Lahore di India. Dan menetap di Lahore selama empat tahun.

Selama di Lahore beliau menyebarkan Islam di India, penegakan syariat islam dan meningkatkan pengetahuan kaum muslim. Namun pada tahun 432 H Hindu menyerang Lahore dan Al-Hujwiri pun di tangkap sebagai tahanan tak lama kemudian di bebaskan pasukan muslaim Ghaznanh dan pindah ke Ghaznah lalu ke khurasan. Tapi tak lama dari itu kemudian beliau lembali ke Lahore hingga wafat pada 1073 M/ 465 H.

Al-Hujwiri memiliki pemikiran yang sangat luas, dimana beliau sering bertemu dengan berbagai ulama dan intelektual dan tidak lupa dengan kerajinannya dalam membaca berbagai macam literatur. Hingga beliau termasuk dalam ulama yang berpenaruh dalam dunia tasawuf. Diantara sebab yang membuat Al-Hujwiri sangat berpengaruh dalam dunia Tasawuf adalah hasil dari karya-karyanya. Bukunya  Kasyful Mahjub menyatakan beberapa karyanya yang lain berjumlah sepuluh diantaranya : Diwan Minhaj Al-Din, Al-Khiraq al-Mulawwanat, Fana U Baqa dan yang lainnya. Namun ada dua kitabnya yang dipinjam oleh orang lain namun tidak dikembalikan kembali, hingga diterbitkannya karya tersebut (yang telah dipinjam) dengan nama pengarang yang berbeda bukan dirinya. Hingga mengakibatkan beliau menyesal telah meminjamkan kitab tersebut.

Dalam kitab Kasyful Mahjub di mata para pengamat memiliki beberapa kelebihan yang dimuat di dalamnya. Diantaranya penguraian tajam tentang pembahasan aliran tasawuf yang berkembang pada waktu itu, pengungkapan persoalan tasawuf yang bera pada waktu itu seperti makrifat dan sebagainya. Dalam pembahasan beberapa aliran tasawuf yang mudah untuk dipahami.

Sebagai salah satu pengikut dari Ahlussunnaah wal jama’ah, Al-Hujwiri dikenal sebagai ulama yang berusaha mendamaikan tasawuf, fiqh, dan teologi.  Beliau menegaskan bahwa ada keterkaitan yang erat antara syariat dan hakekat, menurutnya syariat tanpa hakekat tidak membuahkan apa-apa. Sedangkan hakekat tanpa syarat, hanya membuahkan kemunafikan. Al-Hujwiri membagi orang-orang tasawuf menjadi tiga golongan yaitu sufi, Mutasawwin, dan Mutashwif. Sufi adalah orang yang sudah fana (lenyap) dari dirinya, baqa (abadi) berasama Al-Haq, bebas dari gengamman tabiat dan mencapai hakekat dari segala hakekat. Mutashawwin adalah orang yang sedang berjuang keras untuk mencapai derajat sufi. Adapun Mutashwif adalah orang yang berpura-pura seperti sufi tapi dengan kepentingan duniawi.

Dalam pengambaran tokoh-tokoh sekilas yang berperan dalam pengajaran tasawuf pada abad ke-lima, dapat dilihat beberapa karakteristik dari pengajaran tasawuf tersebut. Disebut juga tasawuf pada abad ke-lima ini dengan Sunni atau akhlaki, dan berikut merupakan karakteristik yang menonjol pada waktu itu :
1.        Lebih utama berlandaskan pada konteks Al-Qur’an dan Hadits, jadi selain dalam pembahasan ini tidaklah dibahas atau dikaji. Namun jika ada yang memerlukan penafsiran maka hanya dilakukan dengan sifatnya yang sekedar dan idak begitu mendalam.
2.       Lebih mengajarkan kepada pengajaran dualisme. Yang dimaksudkan dualisme dalam hal ini ialah pengertian mengenai sifat tuhan dan manusia adalah dua hal yang berbeda. Dan jika orang tersebut  dapat berhubungan dengan tuhannya, hanyalah sebatas dekat. Tidak menggunakan sistem penyatuan dengan tuhannya.
3.       Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at. Dalam pengertiannya keterkaitan antara tasawuf sebagai aspek batiniyah dengan fiqh sebagai aspek lahirnya. Kaum sufi di kalang sunni tetap memandang penting persoalan-persoalan lahiriyah formal, seperti aturan-aturan yang dianut para fuqoha. Bahkan aturan-aturan tersebut di pandang sebagai jembatan menuju tuhan.
4.       Lebih beronsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.

Daftar Pustaka
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak Tasawuf : Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya Disertai Biografi dan Tokoh-Tokoh Sufi, (Jakarta : Raja Wali Pers, 2013)

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta : Yayasan Nurul Islam,1981)

M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung : pustaka Setia, 2008).





[1] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta : Yayasan Nurul Islam,1981), hlm. 123.
[2] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung : pustaka Setia, 2008), hlm.,66.
[3] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak Tasawuf : Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya Disertai Biografi dan Tokoh-Tokoh Sufi, (Jakarta : Raja Wali Pers, 2013), hlm. 220.
[4] Ibid, hlm. 221.
[5] Ibid, hlm. 222.
[6] Di panggil Al-Ghazai karena karena ia dilahirkan di desa Ghazal.
[7] Ia dipanggil Abu Hamid karena ia mempunyai anak laki-laki yang bernama Abu Hamid. Anak ini meninggal ketika masih kecil sebelum wafatnya Al-Ghazali. Sehingga beliau lebih dikenal dengan sebutan Abu Hamid. Ibid., hlm. 135.
[8] M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung : pustaka Setia, 2008),  hlm. 136.
[9] Ibid., hlm. 138.
Read More

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

kumpulan makalah afif

Popular Posts

Powered by Blogger.

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Kumpulan Artikel dan Makalah Belajar Lebih Dalam Tentang Islam | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com